Pemerintah tahu persis bahwa kebijakan rapid test untuk penerbangan domestik bakal menuai beragam komentar. Namun, katanya, aturan ini tak perlu dipertentangkan lagi.
Alasannya, rapid test adalah bentuk saringan. Achmad Yurianto, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes menjabarkannya dalam acara Bincang Santai Virtual: Intip Jurus Jitu Bandara Atasi Penyebaran COVID-19 yang diselenggarakan oleh Indonesian National Air Carriers Association (INACA).
Mula-mula, Yuri menjelaskan aturan terkait perjalanan dalam negeri, sesuatu yang harus disikapi bersama. Katanya tidak ada regulasi yang berubah secara drastis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pengawasan dalam negeri harus dimaknai secara utuh. Tidak ada pertentangan berkaitan dengan ketentuan," ujar Yuri.
"Yang selama ini menjadi banyak rumor di masyarakat tentang rapid test antibodi. Kita di dalam revisi yang kelima setiap saat Kemenkes harus siap merevisi ini begitu manual dari WHO berubah," imbuh dia.
Yuri membenarkan bahwa rapid test memang tak bisa digunakan untuk diagnosa COVID-19. Namun, alat ini masih bisa digunakan untuk saringan.
"Di dalam manual yang kelima dikatakan bahwa rapid test antibodi tidak dipergunakan untuk menegakkan diagnostik. Tetapi masih digunakan untuk screening termasuk situasi tertentu yang perlu pengawasan, misalnya screening pelaku perjalanan," kata dia.
"Ini masih inline dengan SE No 9 dari Gugus Tugas. Tidak ada yang perlu dipertentangkan," sebut Yuri.
Pemerintah menganggap bahwa sebuah perjalanan tak perlu diagnosa. Yang paling dibutuhkan saat momen demikian yakni hanya penyaringan.
"Karena, pada saat orang melakukan perjalanan kan tidak dibutuhkan diagnosa. Hanya screening," tegas dia lagi.
Kini, pemerintah sedang berjibaku soal penertiban alat rapid test yang payah. Karena, hanya ada 30 persen alat rapid test yang ada di Indonesia yang benar-benar bagus hasilnya.
"Hanya sekarang kontrol kita setelah beberapa waktu yang lalu kami meminta perhimpunan dokter patologi klinik Indonesia untuk melakukan uji dari merek rapid test yang ada di pasar, yang jumlahnya puluhan, terkait dengan sensitivitas dan spesifitasnya. Maka inilah yang harus diatur tentunya bersama Badan POM, Kemekes dan Badan Litbang, hampir 70% merek yang beredar memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tidak memenuhi syarat," urai Yuri.
"Kami mempersyaratkan harus di atas 80%. Sangat disayangkan beberapa kit rapid test itu justru tidak mencapai 20%. Artinya screening, penjaringan dengan saringan yang bolong ya nggak ada gunanya. Jadi problemnya adalah di sana," tambah dia lagi.
Pemerintah kini sudah meminta BPOM dan Litbang melakukan uji dan memberikan registrasi. Sehingga, nantinya, hanya kit rapid test yang teregistrasi saja yang boleh beredar di tengah masyarakat.
"Saat ini ada masa transisi untuk mulai melakukan itu. Kita bicara dengan fasilitas kesehatan dan memberikan merk (rapid test) yang sudah teregistrasi," pungkas dia.
(msl/ddn)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol
Tragedi Juliana di Rinjani, Pakar Brasil Soroti Lambatnya Proses Penyelamatan