Kadek Suarjana tak pernah membayangkan untuk menekuni bertani lagi. Tapi, pandemi virus Corona membuat sopir langganan turis di Bali itu pulang kampung dan kembali ke sawah.
Padi di sawah-sawah di desa Tembuku, Kabupaten Bangli, di Bali seolah menjadi lautan kuning. Satu-satunya hal yang dapat menggagalkan potensi panen yang melimpah hanyalah berbagai jenis burung yang suka memakan bulir padi.
Tapi burung-burung itu mendapatkan pengawasan ketat dari petani-petani yang berjaga di tepi sawah. Salah satunya, Suarjana. Tanpa ragu, dia menjentikkan tali yang digantung di ladang keluarganya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sesaat setelah tali ditarik, kantong plastik dan lonceng kaleng darurat yang terpasang di atas padi-padi itu berderak dan bergoyang. Timbullah suara berisik. Burung-burung pun terbang menjauh.
Suarjana, pria berusia 41 tahun itu, belum benar-benar kehilangan kemampuannya untuk turun ke sawah. Padahal, sudah 20 tahun dia tak lagi nyemplung ke sana.
Ya, dua dekade lalu, dia pindah ke Denpasar, Bali, yang berjarak 90 menit kalau berkendara dari kampung halamannya.
Di Denpasar dia menjadi sopir sewaan melayani turis-turis domestik ataupun asing. Penghasilannya menjanjikan, bisa mencapai Rp 8 juta hingga Rp 12 juta. Dengan pendapatan itu, dia bisa menyekolahkan kedua anaknya dan membeli mobil sendiri.
Tapi seperti banyak pengemudi lain di Bali, penghasilannya terjun bebas, bahkan menjadi nol rupiah ketika pandemi virus Corona melanda dan turis berhenti datang ke Pulau Dewata.
"Saya tidak bekerja. Tidak ada uang di bank," kata Suarjana kepada Channel News Asia.
"Sementara itu, saya harus membayar sewa rumah dan tagihan," dia menambahkan.
Di tengah tidak adanya pekerjaan dan penghasilan, Suarjana memutuskan untuk kembali ke Tembuku.
"Setidaknya saya tidak perlu khawatir tentang makanan karena di kampung halaman kami memiliki sawah dan tanah pertanian kecil," kata dia.
"Pasti ada beberapa pekerjaan yang bisa saya lakukan di sana," dia menambahkan.
Tapi, ada masalah. Anak remajanya, yang bersekolah di Denpasar harus belajar secara daring dan jarak jauh, namun koneksi internet di desanya tidak stabil. Maka, mau tidak mau anaknya tetap tinggal di ibu kota Bali hingga saat ini.
Untuk tetap bisa membayar sewa rumah dan kebutuhan sehari-hari, Saurjana menjual salah satu sepeda motornya.
"Selama lima bulan terakhir, saya telah merawat pertanian orang lain dan melakukan pekerjaan konstruksi. Pada dasarnya, pekerjaan serabutan pun bisa saya temukan," kata Saurjana.
Suarjana bilang digaji Rp 80.000 sehari sebagai buruh tani dan Rp 100.000 sebagai buruh bangunan.
Tapi sekeras yang dia coba, sedikit tawaran pekerjaan yang datang. Selama lima bulan tinggal di Tembuku, Suarjana mengaku hanya bekerja total 25 hari.
"Dalam satu bulan, saya hanya bisa menghasilkan Rp 500.000, kadang-kadang Rp 700.000," ujarnya.
"Akan ada minggu-minggu ketika saya tidak punya pekerjaan sama sekali. Yang bisa saya lakukan hanyalah duduk di rumah atau merawat kebun dan pertanian keluarga saya," dia menjelaskan.
Suarjana mengatakan dia mengirimkan semua uang yang dia peroleh untuk istri dan anak-anaknya di Denpasar. "Untuk makan saya, saya selalu bisa meminta dari ibu saya," katanya.
Syukurlah, istri Suarjana bisa menjahit. Untuk menambah penghasilannya, istri Suarjana menawarkan jasa menjahit dari rumah mereka yang sederhana di Denpasar.
Keputusan Bali untuk melonggarkan pembatasan perjalanan bagi wisatawan domestik pada akhir Juni belum berdampak signifikan kepada Suarjana.
"Ada telepon dan pesan dari klien lama saya. Mereka baru saja menghubungi saya untuk menanyakan kabar saya bukan meminta jasa," katanya.
Dia berharap, bagaimanapun, bahwa panggilan berikutnya berasal dari salah satu pelanggan tetapnya yang mencari sopir untuk disewa dan berkeliling Pulau Bali.
(fem/ddn)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum