Tinggal di dekat bandara punya banyak tantangan. Namun, petani ini malah punya sawah di tengah bandara terbesar kedua Jepang.
Adalah Takao Shito, seorang petani Jepang yang hidup dengan bercocok tanam di lahan keluarga yang sama selama 100 tahun lamanya. Dilansir detikTravel dari BBC, Kamis (8/10/2020), Takao telah hidup dengan profesi itu sejak dirintis oleh kakeknya dan turun ke ayahnya.
Selain profesi yang sama, Takao juga menggunakan pakaian kebesaran yang dulu dipakai sejak zaman kakeknya. Bisa dikatakan, Takao masih menjaga tradisi keluarganya hingga saat ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, kondisi yang dialaminya saat ini cukup berbeda dengan leluhurnya. Dahulu, sawah keluarganya merupakan satu dari bagian desa yang dihuni oleh 30 keluarga petani. Kini, sawah milik Takao menjadi satu-satunya yang bertahan di tengah Bandara Narita.
Akibat deru pembangunan Bandara Narita, perlahan satu per satu keluarga petani di desa Takao mulai pergi. Hanya tersisa keluarga Takao, yang tetap setia menjaga sawah keluarganya.
![]() |
Walau tanahnya telah ditawar hingga USD 1 juta atau setara dengan Rp 14,7 miliar, tapi Takao tetap teguh pada pendiriannya. Alhasil, sejumlah tantangan dihadapinya.
Untuk mencapai sawah keluarga yang terletak di tengah Bandara Narita, Takao harus mengaksesnya melalui lorong bawah tanah yang berada di bawah landasan pesawat menuju sawahnya. Belum lagi suara bising pesawat yang hilir mudik di kiri kanannya.
"Ini adalah sawah yang digarap oleh tiga generasi selama hampir 100 tahun, oleh kakek, ayah dan saya sendiri. Saya ingin tetap tinggal di sini dan bertani," ujar Takao seperti diberitakan AFP.
Ayah Takao, Toichi, merupakan salah satu petani yang aktif menolak perpanjangan Bandara Narita sejak tahun 1970 silam. Namun, mayoritas petani tetangganya berhasil diyakinkan untuk menjual lahannya.
Keteguhan ayahnya itu akhirnya menginspirasi Takao, yang keluar dari pekerjaannya di restoran untuk kembali mengurus sawah keluarganya dan meneruskan perjuangan.
![]() |
Semenjak memilih meneruskan perjuangan ayahnya, Takao telah berulangkali menghadapi ancaman pemindahan. Namun, Takao tidak berniat untuk mengendur. Kehadirannya sendiri telah menjadi simbol dari masyarakat sipil, yang mendapat dukungan dari banyak aktivis.
"Saya mendapat tawaran uang dengan syarat pergi meninggalkan sawahku. Mereka menawarkan 180 juta Yen atau setara dengan pendapatan petani selama 150 tahun. Saya tak tertarik dengan uang, saya ingin terus lanjut bertani. Saya tak pernah memilih pergi," ujar Takao.
Apabila traveler singgah ke Bandara Narita, kamu bisa melihat rute landasan pesawat bandara itu yang tidak lurus melainkan zigzag menghindari sawah milik Takao.
Hingga saat ini, Takao masih memilih bertahan dan menggarap sawahnya di tengah Bandara Narita. Ia sendiri hidup dengan menjual produk hasil sawahnya ke sekitar 400 pelanggannya.
Pandemi COVID-19 juga tak banyak berdampak pada kehidupan Takao. Malah, kondisi udara di sekitar sawahnya malah jadi lebih bersih karena menurunnya jumlah pesawat yang lalu lalang.
(rdy/ddn)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!