Ketika COVID-19 melanda Maroko, kota biru Chefchaouen tidak mencatatkan kasus virus Corona. Kota biru itu juga bisa rehat sejenak dari kesibukan turis.
Chefchaouen, kota serba biru di Maroko, menjadi primadona turis asing. Kota yang dihuni oleh Moriscos, atau Moor, yang melarikan diri dari Inkuisisi Spanyol di abad pertengahan itu dikenal sebagai 'Mutiara Biru Maroko'.
Menurut beberapa catatan sejarah, warna biru pada kota Chefchaouen ini merupakan sisa sejarah abad ke-15, saat para pengungsi Yahudi lari dari penguasaan Spanyol dan menetap di Chefchaouen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Mereka membawa tradisi mewarnai semua barang dengan warna biru, untuk menyamakan dengan langit dan mengingatkan pada Tuhan.
Getarannya yang santai, lorong-lorong biru yang cemerlang, lanskap pegunungan yang luas, dan jalur pendakian telah lama menarik wisatawan, terutama dari Spanyol dan China, yang warganya memiliki kesempatan perjalanan bebas visa ke Maroko.
Maka, bukan hal yang mengejutkan kalau Chefchaouen sering kali penuh sesak oleh turis. Sulit mendapatkan kamar hotel kosong saat musim liburan.
Tapi, sejak pandemi virus Corona melanda dunia, kota yang terhampar di Pegunungan Rif, barat laut, Maroko itu sepi dari wisatawan.
Maroko memang sigap menutup perbatasan negara setelah wabah COVDI-19 melanda dunia. Itu menjadi salah satu faktor yang menjauhkan kota biru Chefchaouen dari virus selama berbulan-bulan.
![]() |
Tanpa kehadiran turis, kota biru Chefchaouen, warga mengobrol santai. Mereka terbebas dari tugas menjajakan dagangan di kedai ganja, kafe, ataupun penginapan.
Nelayan membawa hasil tangkapan mereka hari itu dari sungai terdekat atau menjual sarden di sudut jalan.
Selama liburan Natal dan Tahun Baru, kota itu kembali bergeliat, namun frekuensinya rendah. Sebagian besar pengunjung kota adalah wisatawan lokal, bukan pengunjung Eropa dan China yang biasanya memadati jalan-jalan sempit.
![]() |
Pemilik toko yang biasanya menjual permadani, mantel wol, dan suvenir harus bekerja ekstra keras untuk mendapatkan pembeli.
Apalagi, kota biru Chefchaouen, juga masih menerapkan jam malam sesuai instruksi pemerintah pusat. Itu untuk mencegah pertemuan besar selama musim liburan. So, restoran di alun-alun utama di dekat Kasbah yang biasanya ramai harus menolak pelanggan untuk tutup lebih awal.
Terlepas dari momok pandemi, yang telah menewaskan lebih dari 7.000 orang di Maroko dan menekan ekonomi, penutupan Chefchaouen telah membawa sedikit kelonggaran yang tak terduga.
Absennya turis yang berfoto di samping pintu berukir ikonik dan tangga yang khas tampaknya membebaskan salah satu tempat yang paling banyak difoto di Maroko, memberi kesempatan kepada penduduknya untuk bersantai dan menyerap keindahan kota Chefchaouen yang tenang.
Baca juga: Dinosaurus Mampu Seberangi Lautan? |
(fem/ddn)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!