Negara-negara Asia ini Beri Ultimatum Soal Kewarganegaraan Ganda

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Negara-negara Asia ini Beri Ultimatum Soal Kewarganegaraan Ganda

Ahmad Masaul Khoiri - detikTravel
Jumat, 19 Mar 2021 15:07 WIB
Ilustrasi Paspor Indonesia
Ilustrasi, paspor Indonesia (Foto: Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Selain Indonesia, negara-negara ini juga tidak menerapkan kewarganegaraan ganda terbatas bagi warganya. Bahkan, secara gamblang, mereka kini diultimatum.

Beberapa dekade terakhir begitu banyak orang bepergian dan tinggal di luar negeri. Jumlah migran internasional tiga kali lipat dari tahun 1970 hingga 2015, menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi.

Mereka adalah orang-orang yang bisa mengubah negara tempat tinggal mereka, setelah tinggal setidaknya selama satu tahun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada saat yang sama, toleransi terhadap kewarganegaraan ganda secara umum meningkat. Pada 1960, kurang dari sepertiga negara mengizinkan warganya memperoleh kewarganegaraan kedua.

Kini, ada tiga perempat yang memperbolehkan. Data ini menurut makalah tahun 2019 oleh Maarten Vink, profesor sosiologi politik Universitas Maastricht di Belanda.

ADVERTISEMENT

Asia adalah pengecualian dari tren itu. Wilayah ini paling ketat di dunia dalam hal kewarganegaraan ganda.

Hanya ada 65% negara dan wilayah yang mengizinkannya, menurut Pusat Kewarganegaraan, Migrasi, dan Pembangunan Maastricht. Sebagai perbandingan, 91% negara di Amerika melakukannya atau menjadi paling liberal.

Jepang hingga China menentang

Lalu, beberapa negara Asia memperketat undang-undang imigrasi mereka. Jepang melakukan pengetatan pada Januari ketika pengadilan menegakkan larangan negara terhadap kewarganegaraan ganda.

Mereka menolak gugatan yang diajukan oleh warga negara Jepang yang tinggal di Eropa.

Hong Kong mengambil tindakan yang lebih keras pada bulan Februari. Otoritas setempat melarang dua warga negara menerima perlindungan konsuler, sebuah langkah yang belum pernah diterapkan karena ada sikap toleransi sebelumnya.

"Kewarganegaraan ganda tidak diakui dalam Undang-Undang Kewarganegaraan China," kata pemimpin Hong Kong, Carrie Lam pada Februari lalu.

"Itu sangat jelas. Kami dengan tegas menegakkan atau menerapkan kebijakan tertentu itu," imbuh dia.

Ada sejumlah alasan mengapa kawasan ini begitu resisten terhadap kewarganegaraan ganda. Karena, di dalamnya ada sentimen negatif termasuk sejarah konflik dan kolonialisme.

Namun di beberapa negara, para kritikus mengatakan bahwa larangan kewarganegaraan ganda juga mencerminkan kecenderungan ke arah nasionalisme. Mereka berkeinginan untuk mempertahankan identitas monoethnic, monokultural.

Di Asia Pasifik, hanya beberapa tempat yang menerima kewarganegaraan ganda tanpa syarat, di dalamnya termasuk Kamboja, Timor Leste, Australia, New Zealand, dan Fiji.

Yang lain mengizinkan kewarganegaraan ganda dalam bentuk-bentuk terbatas, Filipina mengizinkannya bagi mereka yang lahir sebagai warga negara Filipina, tetapi tidak untuk orang-orang Filipina yang dinaturalisasi.

Korea Selatan mengizinkan anak-anak yang lahir dari warga negaranya di luar negeri untuk memegang paspor negara kelahiran dan orang tua mereka.

Salah satu alasan mengapa banyak negara Asia menentang kewarganegaraan ganda adalah keyakinan bahwa hal itu dapat menciptakan loyalitas yang terbagi di antara warga negara, kata Jelena Dzankic, wakil direktur Global Citizenship Observatory (GLOBALCIT), sebuah jaringan penelitian kewarganegaraan internasional.

Masalah kewarganegaraan ganda

Jepang menyusun undang-undang kewarganegaraannya tak lama setelah Perang Dunia II. Saat itu banyak orang Jepang-Amerika ditempatkan di kamp-kamp interniran di AS.

Warga ganda lainnya melepaskan kesetiaan mereka kepada Kaisar Jepang demi keselamatan mereka sendiri, kata Atsushi Kondo, seorang profesor hukum di Universitas Meijo Jepang.

Satu kasus yang terkenal, seorang warga negara ganda Jepang-Amerika kelahiran AS bekerja di Jepang untuk sebuah perusahaan yang mengawasi tawanan perang Amerika.

Sekembalinya ke AS setelah perang, dia dijatuhi hukuman mati atas tuduhan pengkhianatan. Dia akhirnya diampuni dan dideportasi ke Jepang.

Tapi dalam beberapa dekade kemudian, anggota parlemen Jepang menunjuk kasus ini sebagai contoh kewajiban yang saling bertentangan yang datang bersamaan dengan kewarganegaraan ganda.

"Di masa perang, kewarganegaraan ganda menunjukkan kerugian," kata Kondo.

"Tetapi di masa damai, warga negara ganda memiliki banyak keuntungan, termasuk perjalanan bebas visa ke lebih banyak negara, peluang kerja internasional yang lebih besar, pendidikan universitas yang berpotensi lebih murah, dan banyak lagi," imbuh dia.

"Ada kerugian modern juga, misalnya warga negara ganda AS harus membayar pajak ganda, tetapi itu tidak terjadi di sebagian besar negara," imbuh dia lagi.

Larangan China atas kewarganegaraan ganda juga untuk memastikan bahwa warga negaranya hanya memberikan kesetiaan yang tidak terbagi kepada pemerintah. Hal ini diungkapkan Low Choo Chin, seorang dosen sejarah di Universiti Sains Malaysia.

Selama era Perang Dingin, upaya China untuk menormalisasi hubungan dengan negara-negara tetangga dan mengakhiri isolasi internasional terhambat. Karena orang China perantauan dikaitkan dengan aktivitas revolusioner dan pemberontakan Komunis, tulis Low dalam makalah 2016.

Jadi, pemerintah Komunis merumuskan undang-undang kewarganegaraan saat ini pada tahun 1980 untuk menyelesaikan friksi diplomatik dan untuk mengakhiri kesetiaan yang terbagi di antara orang Tionghoa perantauan.

Tindakan keras itu adalah bagian dari upaya anti-korupsi pemerintah. Menurut perkiraan bank sentral China, 18.000 pejabat korup mungkin telah meninggalkan negara itu dengan menggondol 800 miliar yuan antara pertengahan 1990-an dan 2008.

Pergerakan baru-baru ini di China, Jepang dan Hong Kong menunjukkan bahwa beberapa bagian Asia semakin menjauh dari kewarganegaraan ganda bahkan ketika negara lain mulai memeluknya.

Malawi, yang sebelumnya melarang kewarganegaraan ganda, mengubah undang-undang dan mengizinkannya pada 2019. Rusia dan Norwegia mengikutinya pada 2020.




(msl/ddn)

Hide Ads