Soal PP Royalti Putar Lagu, PHRI Keberatan di Pasal Ini

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Soal PP Royalti Putar Lagu, PHRI Keberatan di Pasal Ini

Johanes Randy Prakoso - detikTravel
Kamis, 08 Apr 2021 18:41 WIB
SUBO: Listening Bar Tersembunyi di Kawasan Cipete Utara, Jakarta Selata. Bisa menikmati musik dari piringan hitam (vinyl) dan menyantap coffee mocktail serta makanan homemade lezat.
Ilustrasi (detikcom/Yenny Mustika Sari)
Jakarta -

Terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, pihak Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengaku tidak keberatan membayar. Namun, mereka keberatan dengan bunyi pasal 3 yang disebut menyamaratakan.

Baru-baru ini diketahui Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Pemerintah nomor 56 tahun 2021 terkait hotel hingga restoran wajib membayar royalti ketika memutarkan lagu secara komersial.

Terkait hal itu, Sekjen Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menyampaikan kritisinya. Dihubungi detikTravel via sambungan telepon, Kamis (8/4/2021), Maulana menyebut ada poin yang perlu dikritisi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi gini, sebetulnya bukan keberatan. Kita sebenarnya sudah membayar, bukan hal baru bagi kita masalah royalty ini," pungkasnya.

Maulana Yusran awalnya menyebut persoalan bayaran royalti ini sudah ada semenjak 2016. Menurutnya, sejak saat ini sudah ada dinamika terkait pembayaran royalti ketika pemutaran lagu tersebut.

ADVERTISEMENT

"Namun, kita keberatan pasal 3 itu loh. Bahwa kita disamaratakan seolah bisnis hotel itu nilai komersialnya sama dengan karaoke. Itu yang keberatan, bukan bayar royalti," tegasnya.

Terkait PP royalty lagu serta hak bagi sang pemilik lagu, Maulana mengaku pihaknya tidak keberatan untuk membayar. Hanya sekali lagi ia tegaskan, hotel berbeda dengan tempat karaoke.

"Itu hak cipta orang, kita nggak ada keberatan. Tapi permasalahannya harus dibedakan, bahwa mana yang memiliki nilai komersial mana yang tidak berdampak komersial langsung seperti contohnya hotel dan restoran. Kalau karaoke nilai komersialnya tanpa lagu dia nggak bisa. Kalau hotel tidak seperti itu," jelasnya.

Maulana menyebut, kalau musik di hotel dan restoran lebih berfungsi untuk membangun suasana atau mood pengunjung. Seandainya musik ditiadakan, juga tak jadi masalah.

"Hotel dan restoran itu lagu lebih seperti mood, pelengkap. Misal contoh pergi ke Bali atau Bandung putar lagu Sunda atau Bali itu kan menambah mood travelernya. Cuma kalau mereka nggak putar lagu itu nggak masalah, extended service saja," sebutnya.

Lebih lanjut, Maulana dan PHRI menyambut positif soal PP royalty lagu tersebut. Sekiranya PP tersebut lebih menjelaskan duduk persoalan. Sementara itu, PHRI juga telah mengikuti aturan pembayaran royalty sejak lama.

"Karena selama ini kuota sudah berproses ke pengadilan segala macam dibiarkan saja, padahal kita mau bayar. Kita mengikuti UU 28-nya pada saat itu," tutup Maulana.




(rdy/ddn)

Hide Ads