Setelah berabad-abad hidup nomaden, orang laut Thailand harus beradaptasi dengan kehidupan di darat. Mereka dipaksa tinggal di darat.
Saat ini, Salamak Klathalay, seperti kebanyakan dari kita karena tinggal di sebuah rumah, di darat. Ini adalah pengalaman yang relatif baru bagi pria berusia 78 tahun itu.
"Sebagai anak-anak, saya tinggal di perahu selama setengah tahun dan di daratan setelahnya," kata Salamak di rumahnya di Ko Surin, sebuah taman nasional selatan Thailand.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami akan pergi ke darat selama musim hujan untuk mencari umbi-umbian. Setelah itu, kami akan kembali ke perahu kami," dia menambahkan.
Salamak adalah anggota kelompok Suku Moken Thailand. Juga dikenal sebagai sea gypsies atau chao ley bahasa Thai untuk orang laut.
Baca juga: Daftar 59 Negara Buka Gerbang buat Turis |
Moken mengklaim sebagai satu-satunya kelompok manusia yang, secara tradisional, sebagian besar tinggal di laut. Mereka tinggal di rumah perahu yang disebut kabang.
Suku Moken bisa menahan nafas untuk jangka waktu yang sangat lama. Kemampuan mereka untuk melihat bawah air dilaporkan lebih baik daripada orang pada umumnya.
Keterampilan ini diasah selama berabad-abad. Kehidupan nomaden mereka yakni berlayar di antara Kepulauan Mergui Myanmar dan Laut Andaman.
![]() |
Tsunami memaksa Suku Moken ke daratan
Gaya hidup unik ini tiba-tiba berakhir pada 2005. Bencana tsunami di tahun sebelumnya memaksa mereka untuk tinggal di darat.
Suku Moken muncul dari bencana dan hampir seluruhnya tanpa mengalami cedera. Mereka mengandalkan pengetahuan tradisional yang mengajarkan untuk mencari tempat yang lebih tinggi dan menghindari gelombang.
Tapi pemerintah Thailand memerintahkan Suku Moken untuk pindah ke tanah yang solid. Mereka direlokasi ke sebuah desa darurat di dalam Taman Nasional Ko Surin.
Pada tahun-tahun berikutnya, Suku Moken telah beradaptasi dengan kehidupan yang relatif modern. Sebanyak 315 orang tinggal di rumah kayu dan bambu sederhana yang dilengkapi dengan panel surya dan air ledeng.
![]() |
Dan untuk pertama kalinya, mereka memiliki akses ke sumber pendapatan yang relatif tetap, berupa pariwisata.
"Desa mendapatkan penghasilan dari menjual barang kepada turis atau memimpin tur menggunakan perahu," kata Ngoey Klathalay (semua orang Moken memiliki nama keluarga yang sama), kepala desa.
Ia juga memberi tahu bahwa rata-rata, setiap hari, sebanyak 100 orang mungkin mengunjungi desanya.
Selanjutnya, efek pandemi Corona dan larangan buat Suku Moken >>>
Efek pandemi ke Suku Moken Thailand
Kebakaran tahun 2019 yang memusnahkan separuh desa merupakan pukulan dahsyat lainnya bagi masyarakat. Tetapi efek pandemi lebih dari itu.
Pintu Thailand tertutup rapat untuk pariwisata internasional. Suku Moken pun kehilangan pendapatan utamanya dan terbukti menjadi tantangan yang terbesar.
Tetapi jika ada satu kelompok yang memiliki keterampilan untuk bertahan di masa-masa sulit, tidak diragukan lagi itu adalah Moken.
"Saya tidak punya rumah. Saya sudah tinggal di kapal ini selama dua tahun sekarang," kata Hook Klathalay, saudara laki-laki Ngoey.
Hook memperkirakan bahwa dialah satu-satunya orang Moken Thailand yang tinggal di kapal penuh waktu.
Pada usia 35, Hook adalah salah satu generasi terakhir Moken yang dibesarkan di laut. Ketika dia berumur lima tahun, orang tuanya pindah ke darat agar dia bisa mengenyam pendidikan.
Namun sebagai orang dewasa, Hook merasakan tarikan untuk kembali ke kehidupan tradisional Suku Moken. Bagi dia, langkah pertama dalam proses ini berarti membuat perahu.
Baca juga: 'Paus Raksasa' Ini Berenang di Tengah Hutan |
Larangan pemerintah Thailand buat Suku Moken
Secara tradisional, perahu Moken dibuat dengan melubangi kayu besar. Tapi peraturan taman nasional mencegah Suku Moken menebang pohon.
Bersama pembuat film dokumenter 'No Word for Worry' mereka membuat kapal khas Thailanda dan Moken. Dibuat menggunakan papan dan dilengkapi atap serta tiang berlayar daun pandan, di mana perahu ini jadi inspirasi pada tahun berikutnya.
Pandemi membuat Hook menilai kembali cara hidup mereka. Mereka ingin hidup bebas.
Perburuan dilarang keras di taman nasional Thailand. Tapi pejabat mengizinkan Suku Moken untuk memancing, berburu menggunakan metode tradisional.
Selain itu, kebijakan di atas juga hanya untuk konsumsi mereka sendiri. Peraturan itu terbukti menjadi jalur kehidupan bagi Moken selama pandemi.
"Sebelum pandemi, orang Moken mendapatkan uang dengan membantu di kapal atau melakukan pekerjaan sambilan di taman nasional, tetapi pekerjaan ini sekarang hilang. Kita bukan warga negara Thailand, jadi tidak mendapatkan bantuan apa pun dari pemerintah," jelas Hoook.
Laut bukanlah satu-satunya sumber makanan bagi orang Moken. Di hari lain, mereka juga ke pulau berhutan menggali tanah berpasir untuk mencari umbi yang bisa dimakan.
Sebelum nasi menjadi hal yang biasa bagi Suku Moken, talas dan ubi merupakan sumber utama karbohidrat. Bahan inilah yang mereka makan dan dilengkapi dengan tangkapan dari laut.
"Untuk waktu yang lama, kami tidak akan bergantung pada pariwisata, meski telah memilikinya selama beberapa tahun. Tapi kami akan selalu memiliki laut," jelas Hook.
(msl/fem)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum