Kopi Anti Nuthuk Ala Jogja untuk Rakyat Jelata

- detikTravel
Jumat, 04 Jun 2021 18:15 WIB
warung kopi tampak depan
Yogyakarta -

Didasari rasa penasaran setelah membaca sebuah rubik susul khas Mojok.co, yang terbit pada tanggal 20 Mei 2021, dengan judul "Warung Kopi Tanpa WiFi dan Seorang Pakde yang Mau Mendengar Ceritamu."

Rasa penasaran saya ini, berangkat dari khayalan saya pada suatu hari nanti mempunyai warung kopi yang sejati. Setelah membaca judul dan isi konten saya tertarik untuk mengunjungi tempat tersebut, demi membuktikan adanya tempat semacam itu di tengah hiruk pikuk ramainya Jogja.

Gayung bersambut, diakhir bulan Mei cuti saya mendapatkan persetujuan dari atasan, niat mengunjungi keluarga yang sudah saya jalankan, membawa saya dan dulur saya mengunjungi tempat tersebut.

Jelas dulur saya satu ini juga tidak tahu menahu tentang warkop satu ini, dia juga terperanjat saat saya mengirimkan link berita dari Mojok.co, "lah, ono to gon koyo ngene neng Jogja om?", sambutnya kaget saat membaca berita yang saya kirim tersebut. Saya pun langsung mengajaknya "gas yuk."

Sebelum berangkat pada malam harinya, saya coba mencari tahu warung tersebut melalui mbah google, dengan mengetikkan nama warung Omah Kopi, Omah S'dulur, dengan cepat mbah googleyangluarbiasa, langsung menunjukkan letak lokasi yang berada di jalan Prof. Dr. Sardjito, tepatnya pojok dekat samping sekolah SMAN 11 Yogyakarta, depan penjual bakmi Jawa dan sate.

Last order 20.00. Kalimat terakhir itu mengerem saya untuk tidak jalan-jalan pada siang harinya, agar malam terakhir di Jogja bisa saya habiskan untuk menyesap kopi di warung yang unik ini.

Malam pun tiba, tepat selepas isya jam 19.30 kami berangkat, karena sama-sama tidak tahu akhirnya, harapan saya labuhkan untuk kedua kalinya pada kemampuan mbah google, tapi apes mbah google malah memutarkan kami berdua, saya sudah was-was karena sampai disana sudah pukul 20.15.

"Yuk, dicoba dulu," ajak dulur saya setelah meletakkan helm. Warungnya benar-benar unik, kecil dengan penerangan yang temaram persis seperti yang di digambarkan oleh wartawan dari Mojok.co.

Saat memasuki warung kopi tersebut, terdengar kalimat ramah khas penduduk Jogja "monggo Nas".

Saya yang gagap karena sudah lama sekali tidak mendengarkan dan lebih sering mendengarkan "selamat datang, silahkan, mari berbelanja," seperti diguyur air segar.

Ini baru Jogja. Oh iya ada beberapa varian kopi yang tersedia, tapi jangan memesan kopi jos, atau dalgona karena tidak akan ada.

Sedulur saya langsung penasaran dengan menunya yang terpajang di bagian dalam warung, saking bingungnya dulur saya malah tanya ke penjualnya. "Rekomendasinya apa di sini Pak?" saya langsung memotongnya, "kopi duriannya enak."

Jawaban saya didasari dari konten yang saya baca dari Mojok.co. Bukan isapan jempol semata ternyata keramahan pemiliki tokonya, sedulur saya yang penasaran dengan salah satu menu pearberry, disambut dengan jawaban yang ramah dan begitu panjang, saya hanya melihatnya dari luar jendela.

Bunyi ceret air yang sudah mendidih menyudahi penjelasan yang begitu ramah atas pertanyaan singkat. "Gimana?" tanya saya kepada dulur saya saat sedang duduk.

"Wah luar biasa penjelasannya."

Tidak hanya asal membuat, seluk beluk kopi dipahami dengan baik oleh si empu warung kopi ini.

"Monggo Mas," seru penjual kopi kepada kami.

Aroma duriannya begitu lembut dibalut dengan aroma kopi yang tidak hilang, seperti ada ikatan yang kuat. Enak, itu kata pertama yang kami berdua sepakati.

Dua kopi durian dibanderol dengan harga Rp 20.000. Ini tidak sepadan bila dibandingkan dengan keramahan dari sang pemilik kopi, ditambah dengan keramahan sang peracik kopi. Belum lagi ketika pulang, ada doa yang menyertai perjalanan kami berdua.

Malam itu, saya merasakan menjadi Jogja seutuhnya dari orang yang sama sekali tidak saya kenal, harga yang wajar, keramahan dan Jogja, sebuah romantisme baru yang akan saya rindukan dari tanah perantauan kelak.




(ddn/ddn)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork