Porter Gunung Gede, Rela Bawa Beban Berat Demi Sesuap Nasi

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Porter Gunung Gede, Rela Bawa Beban Berat Demi Sesuap Nasi

Putu Intan - detikTravel
Sabtu, 05 Jun 2021 06:12 WIB
Profesi porter Gunung Gede-Pangrango sempat terpuruk karena pandemi COVID-19. Kini, perekonomian porter berangsur pulih usai pendakian kembali dibuka.
Porter di Gunung Gede Pangrango. Foto: Andhika Prasetia
Cibodas -

Ada pemandangan unik ketika traveler mendaki Gunung Gede Pangrango. Di sana ada sosok-sosok pendaki yang membawakan barang milik orang lain. Mereka dikenal sebagai porter.

Porter di gunung tentu berbeda dengan porter yang bekerja di bandara atau stasiun kereta api. Porter gunung tak dibekali alat bantu untuk menggendong barang bawaan milik orang yang membayar mereka. Para porter ini harus mengandalkan kekuatan fisik mereka untuk mampu membawa beban dari kaki sampai puncak gunung dan sampai kaki lagi.

detikcom berkesempatan berbincang bersama seorang porter di Gunung Gede bernama Budi beberapa waktu lalu. Pria muda itu bercerita bahwa ia tak punya mimpi akan bekerja sebagai porter. Kondisi ekonomi yang memaksanya melakoni pekerjaan ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Budi merupakan warga asli Cibodas yang rumahnya tak jauh dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Hanya berbekal ijazah SD, Budi sempat merantau ke Jakarta sebelum akhirnya memutuskan untuk mencari nafkah di Gunung Gede.

"Sebelumnya seperti orang lain, nyari kerja di Jakarta. Nyari pengalaman. Awal mula nggak mau jadi porter tapi di rumah sudah setahun nggak kerja, lalu nyoba-nyoba nanya ke teman, ikutlah belajar jadi porter sampai akhirnya ada yang mempercayakan," katanya.

ADVERTISEMENT
Porter di Gunung Gede PangrangoBudi, porter di Gunung Gede Pangrango. Foto: Putu Intan/detikcom

Budi menjelaskan, porter di Gunung Gede bermacam-macam jenisnya. Ada porter barang, porter pribadi dan guide. "Porter barang selain bawa barang harus bisa memasang tenda dan masak. Kalau porter pribadi itu menemani khusus satu tamu dan dia mengawal saja, kalau guide itu untuk semua peserta. Biasanya mengarahkan jalan sambil menjelaskan," ujarnya.

Budi menjelaskan, untuk dapat menjadi porter, ia harus berlatih bersama para seniornya. Latihan itu tak cuma soal cara mendaki gunung tetapi juga melayani tamu. "Yang difokuskan utama di pelayanan seperti masak," ujarnya.

Dalam masa belajar itu, Budi diajarkan untuk memasak nasi dan lauk untuk para tamu. Selain itu, ia juga harus sabar dalam melayani tamu.

"Tamu nggak semuanya satu pemikiran, ada yang beranggapan saya sudah bayar kamu jadi kamu harus bawa barang saya sendirian. Tapi ada juga yang perhatian, nggak usah berat-berat, kasihan, bagi-bagi saja," tuturnya.

Dalam sekali pendakian, Budi dapat membawa beban seberat 25 kilogram. Tapi beban itu belum termasuk tas pribadinya yang berisi sleeping bag hingga alat masak. Belum lagi jika tamu tiba-tiba cedera, ia juga harus membantu tamu tersebut.

"Kalau sudah di jalur terkadang bisa lebih (bebannya) karena tamu tidak bisa diprediksi. Sekalipun di bawah lagi fit, tiba-tiba di atas nggak kuat, kita tempel," kata dia.

Untuk sekali pelayanan tersebut, Budi dibayar Rp 600 ribu. Namun bayaran ini tidak sepenuhnya masuk ke kantongnya. Terkadang jumlah itu dipotong oleh pihak yang memberikannya pekerjaan seperti event organizer (EO).

Dalam sebulan, Budi dapat melayani tamu hingga 7 kali. Namun bila sedang sepi bisa hanya sekali saja sebulan.

"Penghasilan saya memang nggak tentu. Misal rezeki saya sedang lebih, kalau pas ya pas. Gimana diri pribadi ngatur (keuangan saja)," ucapnya.

Selama pandemi COVID-19 ini, pendakian di Gunung Gede Pangrango memang sepi. Budi pun ikut terdampak hal tersebut. Apalagi pendakian sempat ditutup selama 8 bulan pada 2020.

"Selama 8 bulan kemarin ya alhamdullilah dicukup-cukupin. Saya cuma fokus menjadi porter saja, kalau teman yang lain ada yang beralih ke kebun dan cari kerja masing-masing," katanya.




(pin/fem)

Hide Ads