Penyakit Lama Garuda: Rute Nggak Hoki Tetap Diterbangi

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Penyakit Lama Garuda: Rute Nggak Hoki Tetap Diterbangi

Dadan Kuswaraharja - detikTravel
Kamis, 10 Jun 2021 19:23 WIB
Infografis tawaran pensiun dini untuk karyawan Garuda Indonesia
Foto: Infografis detikcom/M Fakhry Arrizal
Jakarta -

Kementerian BUMN menjelaskan persoalan berat yang dialami maskapai BUMN PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) di tengah tekanan utang jumbo, yaitu soal rute yang tidak hoki alias tidak untung.

"Memang permasalahan utama Garuda di masa lalu, karena leasing-leasing (sewa pesawat) melebihi cost yang wajar dan jenis pesawatnya terlalu banyak, contoh ada Boeing 737, Boeing 777, Airbus A320, A330,ATR, dan Bombardier, ini efisiensinya bermasalah, ditambah rute yang banyak diterbangi itu tidak profitable. Tadi disampaikan Pak Menteri (Menteri BUMN), rute dalam negeri sebelum COVID untung tapi luar negerinya rugi, memang penyakit lama," ujar Wakil Menteri BUMN Kartiko Wirjoatmodjo dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR.

Selain rute yang tidak menguntungkan, Garuda juga kena masalah baru setelah adanya pandemi COVID yakni perubahan pengakuan kewajiban yang harus disampaikan dalam laporan keuangan sesuai dengan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) di mana kewajiban harus dicatatkan sebagai utang, dari ketentuan sebelumnya sebagai biaya operasi atau operational expenditure (opex).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan demikian, katanya, utang Garuda yang tadinya sekitar Rp 20 triliun, membengkak jadi Rp 70 triliun. "Yang memang secara PSAK dicatatkan, diharuskan dicatat sebagai kewajiban, ini membuat posisi secara neraca insolvensi (tak mampu bayar kewajiban tepat waktu), karena antara utang dan ekuitasnya sudah tidak memadai mendukung neraca keuangan," kata mantan Dirut PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) ini seperti dikutip dari CNBC Indonesia.

Sebab itu, kata Tiko, untuk melakukan restrukturisasi yang sifatnya fundamental, utang Garuda yang mencapai USD 4,5 miliar itu harus diturunkan di kisaran USD 1-1,5 miliar.

ADVERTISEMENT

"Secara sederhana EBITDA (laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi) Garuda sekitar USD 200-250 juta, secara kondisi keuangan yang normal, itu (utang) maksimum rasionya 6 kali (dari EBITDA), jadi USD 250 dikali 6, maka sekitar USD 1,5 miliar, kalau di atas itu (utang) maka Garuda nggak akan bisa going concern karena tak akan bisa membayar utang-utangnya," jelas mantan Managing Director PT Mandiri Sekuritas ini.

Sebab itu, Kementerian BUMN secara intensif berbicara dengan manajemen, termasuk kepada pemegang saham minoritas, juga Kementerian Keuangan soal bagaimana proses restrukturisasi Garuda ke depan harus mampu mengurangi utang-utangnya.

"Ini yang sedang kami prose pola dan dan legal prosesnya, karena ini melibatkan lessor (perusahaan penyewa pesawat), juga ada peminjam dalam bentuk global sukuk bond yang dimiliki oleh para pemegang sukuk dari middle east (Timur Tengah), sehingga mau nggak mau kalau kita negosiasi internasional harus melalui legal internasional, karena tak bisa hanya Indonesia, karena justru mayoritas utang Garuda itu kepada lessor, dan pemegang sukuk internasional," ujarnya.

Dia mengungkapkan, Kementerian BUMN sudah menunjuk konsultan hukum dan keuangan untuk memulai proses restrukturisasi Garuda. Selain itu memang segera dilakukan moratorium utang atau standstill agreement (menghentikan sementara pembayaran bunga) dalam waktu dekat ini.

"Karena tanpa moratorium, cash Garuda akan habis dalam waktu pendek sekali, ini yang akan kami tangani segera," katanya.

"Apabila Garuda bisa melakukan restrukturisasi secara massal dengan seluruh lender, lessor, dan pemegang sukuk global, dan juga melakukan cost reduction (pengurangan biaya), harapannya cost bisa menurun 50% atau lebih, maka Garuda bisa survive pascarestukturisasi. Namun restrukturisasi ini butuh negosiasi dan proses hukum yang berat karena melibatkan banyak pihak, dan tentunya harapannya cost menurun, oleh karena itu mau tak mau cost structure dipotong lebih rendah. Sebagai informasi, dalam sebulan cost Garuda USD 150 juta, sementara revenue USD 50 juta, jadi setiap bulan rugi USD 100 juta, jadi memang sudah tidak mungkin dilanjutkan dalam kondisi sekarang ini," kata Tiko.

"Jadi ini kami harapkan dukungan Bapak Ibu Komisi VI, karena kita masuk dalam restrukturisasi berat, dan prose legal yang cukup kompleks," ujarnya.

Dia mengatakan, diharapkan dalam 270 hari setelah dilakukan moratorium utang maka bisa dilakukan restrukturisasi.

Namun dia mengingatkan proses ini punya risiko. "Memang ada risiko, apabila dalam restrukturisasi para kreditor tidak menyetujui, atau banyak tuntutan legal, itu bisa terjadi, dan jika tidak mencapai kuorum maka bisa jadi menuju kebangkrutan, nah ini yang kita hindari semaksimal mungkin dalam proses legal, harapannya ada kesepakatan restrukturisasi Garuda," tutupnya.




(ddn/rdy)

Hide Ads