Ikan Nasi Nabire, Ikan yang Kedatangannya Ditandai Geledek dan Gerimis

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Ikan Nasi Nabire, Ikan yang Kedatangannya Ditandai Geledek dan Gerimis

Hari Suroto - detikTravel
Selasa, 29 Jun 2021 11:44 WIB
Ikan nasi Nabire
Penampakan ikan nasi Nabire (Hari Suroto for detikTravel)
Nabire -

Muara Sungai Wanggar, Kawasan Transmigrasi SP B, Wanggar Sari, Distrik Wanggar, Kabupaten Nabire, Papua memiliki ikan unik berukuran sangat kecil. Warga menyebutnya ikan nasi.

Ya, karena berukuran seperti nasi maka masyarakat menyebutnya sebagai ikan nasi. Ciri fisik ikan nasi berukuran 2 hingga 4 centimeter, warna tubuhnya belang-belang, agak kehitam-hitaman, dan baunya amis.

Sungai Wanggar bermuara di Teluk Cendrawasih.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemunculan ikan nasi tidak setiap saat dan hanya waktu-waktu tertentu saja. Masyarakat setempat percaya, tanda kemunculan ikan ini berawal dari adanya guntur di laut dan hujan rintik-rintik.

Jika terjadi Guntur dan hujan rintik-rintik, maka musim ikan nasi sudah tiba. Selain itu, tanda musim ikan nasi adalah munculnya ikan hiu paus (Rhincodon typus). Ikan hiu paus sangat menyukai ikan nasi sebagai makanannya.

ADVERTISEMENT
Ikan nasi NabireFoto: nelayan menjaring ikan nasi di muara Sungai Wanggar, Nabire. (Hari Suroto for detikTravel)

Ikan nasi ditangkap di muara Sungai Wanggar yang terhubung dengan Teluk Cendrawasih.

Ikan nasi tidak selalu bermunculan dalam jumlah banyak. Adakalanya, bermunculan hanya dua atau tiga malam. Ada juga sampai lima hari.

Keberadaan ikan nasi perlu dijaga kelestariannya, karena ikan nasi merupakan santapan ikan hiu paus.

Induk ikan nasi tetap ada jika induknya hidup dalam aliran Sungai Wanggar. Saat musim kawin, telur ikan nasi terbawa arus sungai masuk ke perairan laut.

Setelah telur menetas, ikan nasi akan kembali ke sungai.

Ikan nasi dijual dengan harga 10 ribu rupiah per piring plastik kecil, ikan nasi dimasak perkedel. Secara tradisional, ikan nasi dibungkus daun nipah, tanpa bumbu, kemudian diasap di atas perapian.

***

Artikel ini dibuat oleh Hari Suroto dari Balai Arkeologi Papua dan diubah seperlunya oleh redaksi.




(fem/fem)

Hide Ads