UNESCO melalui World Heritage Center (WHC) meminta agar proyek pembangunan di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo disetop. Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Wiratno bersikukuh proyek bakal jalan terus.
UNESCO menyampaikan tuntutan itu dalam sidang ke-44 WHC yang dilaksanakan secara virtual pada akhir Juli 2021. Mereka menyebut pembangunan di Pulau Rinca bakal menjadi ancaman bagi nilai universal luar biasa (OUV) di TN Komodo.
TN Komodo memang merupakan habitat komodo (Varanus komodoensis) yang merupakan kadal terbesar di dunia dan satwa endemik di Indonesia. Komodo merupakan daya tarik utama kawasan wisata di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wilayah daratan Taman Nasional Komodo memiliki vegetasi berupa padang rumput dan hutan savana (70 %), hutan gugur terbuka (25%) dan sisanya adalah hutan kuasi awan dan hutan mangrove.
"Pembangunan tersebut dibiayai oleh Kementerian PUPR, Ditjen Cipta Karya. Pembangunan tersebut merupakan perbaikan/renovasi dari infrastruktur sebelumnya, seluas 1,3 hektar agar infrastruktur tersebut lebih layak sebagai fasilitas wisata premium di Indonesia. Komodo merupakan kebanggaan bangsa Indonesia," kata Wiratno yang dihubungi detikTravel, Kamis (5/7/2021).
"Saat ini, persentase pembangunan dermaga telah mencapai 95 persen dan pembangunan pusat informasi 76 persen. Dijadwalkan pada Desember 2021 telah selesai. Kami yakin bahwa dengan penyempurnaan Environmental Impact Assessment (EIA), berbagai kriteria yang ada dapat diterima oleh UNESCO," dia menambahkan,
"Semua proyek akan jalan terus, tidak bisa dihentikan," dia menegaskan.
Wiratno menyebut kekhawatiran UNESCO tentang pembangunan di Pulau Rinca mengancam OUV tidak terbukti. Dia mengklaim pembangunan di Resor Loh Buaya, Pulau Rinca tidak akan menimbulkan dampak negatif terhadap OUV TN Komodo yang masuk Situs Warisan Dunia UNESCO itu.
"Tujuan pembangun adalah mengganti sarana dan prasarana yang tidak layak dengan sarpras yang berstandar internasional," ujar Wiratno.
Sarana dan prasarana yang tidak layak itu adalah kamp ranger, kamp pemandu, kamp peneliti, dek plaza, pos istirahat, dek layang, tangki reservoir, pipa distribusi, ruang tunggu pengunjung, dermaga, perlindungan pantai, dan pusat informasi.
Sementara itu, OUV di Pulau Rinca itu meliputi populasi komodo dan sumber pakan (rusa, kerbau, babi hutan), ekosistem sabana, hutan dataran tinggi, hutan mangrove, pasir putih, karang, dan rumput laut.
"Nah, luas areal terbangun adalah 1, 3 hektare dan itu berada pada tapak sarpras yang lama. Kesimpulannya, pembangunan sarpras tidak menimbulkan dampak yang signifikan berdasarkan hasil kajian penyempurnaan Environmental Impact Assessment (EIA)," dia menegaskan.
Tim EIA diisi oleh pakar kehati dan lingkungan, yakni ahli kehati dari IPB University Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo dan Dr. Mirza Dikari Kusrini, Wildlife Conservation Societ Dr. Titiek Setyawati dan Sheherazade, S.Si. M.S, Komodo Survival Program Achmad Ariefiandy, M.Sc., dan pakar Warisan Dunia-Koen Meyers, bersama Kemen LHK dan Kemen PUPR, Kementerian Luar Negeri, Kemen.Pendidikan dan Kebudayaan/Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO, dan Kemenko PMK.
Halaman berikutnya >>> Pemerintah: Desain Baru Mungkinkan Jaga Jarak Turis dan Komodo
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol
Tragedi Juliana di Rinjani, Pakar Brasil Soroti Lambatnya Proses Penyelamatan