Mengenal Sosok 'Gojali Buntung', Pejuang Pemberani dari Pandeglang

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Mengenal Sosok 'Gojali Buntung', Pejuang Pemberani dari Pandeglang

Rifat Alhamidi - detikTravel
Minggu, 22 Agu 2021 14:15 WIB
Mengenal Sosok Gojali Buntung, Pejuang Pemberani dari Pandeglang
Tb. H. Gazali Bulkis (Rifat Alhamidi/detikcom)
Pandeglang -

Kabupaten Pandeglang, Banten pernah memiliki kisah para pejuang berani mati saat mengusir Belanda dari wilayah tersebut. Kisahnya itu pun kini diabadikan dalam sebuah tugu yang diberi nama Tugu Pasukan Sancang Lodaya Sektor 15 dan telah dibangun sejak tahun 70an.

Seiring berjalannya waktu, tugu yang terletak di pertigaan Mengger, Pandeglang itu lebih di kalangan masyarakat dengan sebutan Tugu 'Gojali Buntung'. Lantas, siapa sebetulnya sosok Tb. Ahmad Ghozali atau Gojali Buntung yang mampu memimpin pasukan saat mengusir Belanda dari Pandeglang?

Dikutip dari skripsinya yang berjudul 'Perjuangan Tb. H. Gazali Bulkis Di Sektor Gunung Karang Pada Agresi Belanda II Di Pandeglang Tahun 1949', Mildaniati seorang sarjana UIN Banten dari Fakultas Ushuludin dan Adab menuliskan bahwa Gojali Buntung lahir di Karang Tanjung, Pandeglang pada tanggal 31 Desember 1924. Semasa mudanya, Gojali memang sudah akrab dengan dunia pertempuran hingga memiliki keahlian yang ditakuti dalam mengatur strategi tempur gerilya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat terjadinya serangan Agresi Militer Belanda II, Mildaniati dalam skripsinya menuliskan bahwa Brigade I Tirtayasa Divisi Siliwangi membagi pertananan menjadi beberapa sektor. Dimulai dengan Batalyon pimpinan Sachra yang bertugas menjaga pertahanan di Pandeglang, Batalyon Supaat di Parungpanjang, Batalyon Soleh Iskandar di Leuwiliang, Batalyon Husein Wangsaatmaja di Cikotok, Batalyon Ali Amangku di Serang dengan tugas pertahanan pantai dan Kota Serang, serta Batalyon Jaelani di sektor Balaraja.

"Agresi Militer Belanda II akhirnya tiba di Banten pada 23 Desember 1948 dengan memulai penyerangannya ke Batalyon Ali Amangku di Serang. Tak butuh waktu lama, tepatnya pada 27 Desember 1948, Belanda bisa merebut dan menduduki wilayah kekuasaan Ali Amangku itu dengan turut menghancurkan banyak benda pusaka dan seni milik masyarakat Banten," kata Mildaniati dalam skripsinya yang dilihat detikcom di laman UIN Banten, Sabtu (21/8/2021).

ADVERTISEMENT

Setelah serangan itu, TNI dan pejabat pemerintahan Banten berusaha untuk mempertahankan diri dengan melakukan gerilya di hutan. Para kaum jawara, saat itu disebutkan oleh Mildaniati juga turut andil melakukan gerilya untuk menghadapi Belanda.

Strategi gerilya ini juga ikut diterapkan di Pandeglang di bawah pimpinan Batalyon Sachra. Jika sebelumnya Sachra dan pasukannya bertugas untuk mempertahankan kota, kini beralih ke perang gerilya di area hutan.

"Batalyon Sachra membagi daerah gerilyanya dalam beberapa sub sektor. Salah satunya berada di Gunung Karang Pandeglang yang dipimpin Tb. Ahmad Ghozali," demikian penggalan lanjutan isi skripsi yang ditulis oleh Mildaniati.

Selanjutnya, pertempuran dengan Belanda pecah di Pandeglang

Tahun 1949 pertempuran dengan Belanda pecah di Pandeglang. Melalui taktik gerilyanya, Gojali Buntung mengerahkan para pemuda dan orang tua dari wilayah Maja sampai Mandalawangi. Mereka pun ikut turun menjadi satu pasukan di bawah komandan Sub Sektor Gunung Karang demi mempertahankan Pandeglang agar tak dikuasai Belanda.

Pertempuran-pertempuran melalui taktik gerilya ini dilakukan oleh dilakukan oleh Gojali Buntung dan pasukannya terjadi di beberapa daerah di Pandeglang. Bukan hanya di Gunung Karang, Mildaniati juga menulis pertempuran itu meluas hingga ke Mandalawangi, Mengger, Maja, Cimanuk bahkan hingga ke Menes dan Labuan.

"Pada masa hidupnya, Tb. H. Gazali Bulkis merupakan sosok yang penuh semangat untuk mempertahankan daerah Pandeglang dari Belanda. Tb. H. Gazali Bulkis melakukan taktik perang gerilya bersama rakyat Pandeglang yang tergabung dalam sektor Gunung Karang. Perlawanan dilakukan dengan perang gerilya dan penghancuran jembatan, serta jalan protokol di daerah Pandeglang yang biasa dilewati oleh kendaraan Belanda," tulis Mildaniati.

Gojali Buntung dan pasukannya pun dikisahkan memiliki strategi perang yang bisa menipu para pasukan Belanda. Caranya, dengan menabuh drum sekeras-kerasnya untuk membuat manipulasi serangan seperti suara tembakan senjata.

Cara ini pun terbilang ampuh. Dalam skripsi yang ditulisnya, Mildaniati menyebut Belanda saat melakukan perjalanan melewati jembatan Mandala di Mengger, Pandeglang, berhasil terpancing lalu menyerang balik dengan berondongan peluru terhadap asal suara tipuan tersebut.

Saat amunisinya habis, pasukan yang dipimpin Gojali Buntung kemudian bergerak mengepung pasukan Belanda. Diawali serangan menggunakan granat, pasukan Gojali langsung menyerbu meski hanya menggunakan bambu runcing dan juga panah.

Pertempuran ini pun berhasil dimenangkan kubu Gojali Buntung. Berbagai persenjataan milik Belanda pun tak luput untuk dirampas termasuk dua unit mobil dan sejumlah sepeda ontel. "Peperangan ini membuat kerugian bagi Belanda. Dua mobilnya ikut dirampas dan satu mobil hancur akibat pertempuran tersebut," terangnya.

Di akhir tulisan skripsinya, Mildaniati pun menyebut kisah heroik Gojali Buntung pernah diceritakan langsung oleh ibunya yang bernama Nuraeni (56). Disebutkan, kakek dari sang ibu penulis skripsi ini pernah ikut berjuang mengusir Belanda bersama Gojali dari Pandeglang melalui taktik gerilya tersebut.

Hingga akhirnya, tug.lu yang berdiri di pertigaan Mengger, Pandeglang, Banten ini pun dibangun sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan kepada para pejuang. Tugu ini merupakan tanda bukti bagi generasi selanjutnya bahwa pernah ada pasukan berani pemberani yang berhasil mengusir Belanda menjajah bumi pertiwi.

Sementara saat dikonfirmasi, anak Gojali Buntung, Ratu Entin Nurhaetin mengatakan bahwa ayahnya merupakan sosok yang pantang menyerah untuk mengusir Belanda dari Pandeglang. Bahkan, ayahnya mengorbankan tangganya yang harus putus di sebelah kanan saat berperang melawan Belanda.

"Tangan bapak itu buntung karena memang pas peperangan itu ada anak buahnya yang mengambil granat tapi enggak meledak pas dilempar ke Belanda. Nah pas diambil lagi, granatnya meledak dan kena bapak yang kebetulan ada disamping anak buahnya," kata Entin.

Awalnya, tangan Gojali hanya terluka hingga bagian pergelangan bagian kanannya. Namun karena membusuk, tangannya terpaksa diamputasi hampir seluruhnya untuk mengurangi luka pembusukan tersebut.

Meski berada dalam kondisi kekurangan, Entin bercerita semangat juang ayahnya seolah tak pernah padam. Dia bahkan terus bergerilya di Gunung Karang demi bisa mengusir Belanda dari wilayah Pandeglang.

"Total itu bapak gerilya di gunung sampai sembilan bulan. Karena kondisi begitu, makanya bapak lebih dikenal sama warga dengan sebutan Gojali Buntung. Otomatis, tugu yang dibangun buat penghormatan bagi para pejuang di Mengger juga ikut dikenal sama orang-orang sebagai tugu Gojali Buntung," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2
(elk/elk)

Hide Ads