Menurut Brotcorne (2014), MEP tergolong primata yang oportunis. Ia memiliki kemampuan beradaptasi yang sangat baik dengan manusia.
Di Bali, MEP ini memang banyak hidup berdampingan dengan masyarakat. Monyet-monyet dibiarkan hidup sesuai ajaran dalam agama Hindu yang Tri Hita Karana, yakni tiga cara mencapai keseimbangan dengan sesama manusia, Tuhan, dan alam.
Itu sebabnya, monyet akan dibiarkan beraktivitas sesuai kelakuan mereka, tidak diburu atau diusir. Akan tetapi dengan kondisi saat ini di mana lahan hutan makin berdekatan dengan permukiman, perilaku monyet bisa jadi meresahkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terlebih Hutan Sangeh yang menjadi objek wisata semakin membuat MEP bergantung pada manusia. Sangeh sendiri sudah dikembangkan menjadi tempat wisata sejak tahun 1971. Jadi, MEP di sana sudah akrab dengan manusia selama puluhan tahun.
Berdasarkan penelitian yang mahasiswa Universitas Nasional pada tahun 2018, ditemukan bahwa cara MEP di Sangeh mendapatkan makanan tertinggi dengan cara diberikan. Makanan yang umumnya dikonsumsi adalah buah hingga makanan ringan seperti chiki dan keripik.
Dari penelitian berjudul Perilaku Harian Monyet Ekor Panjang dan Kehadiran Pengunjung di Taman Wisata Alam Sangeh Bali, disebutkan kehadiran pengunjung berpengaruh signifikan terhadap perilaku makan dan pencarian pakan monyet MEP.
MEP di Sangeh tergolong sebagai monyet yang terhabituasi. Artinya, mereka menerima kehadiran manusia.
Mereka terbiasa berinteraksi dengan manusia mulai dari naik ke pundak, duduk di pangkuan, bahkan bisa diajak foto bersama. Maka selain kekurangan pakan, saat wisata tutup MEP ini juga merasa kesepian.
Simak Video "Video: Polisi Tetapkan 3 WN Australia Tersangka Penembakan di Bali"
[Gambas:Video 20detik]
(pin/fem)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!