Ritual Mandi Safar terkenal di kalangan masyarakat Lombok, khususnya warga Gili Meno. Ritual budaya ini digelar demi membangkitkan kembali pariwisata NTB.
Ritual Mandi Safar jadi salah satu tradisi yang paling ditunggu-tunggu masyarakat Lombok. Terlebih setelah muncul wabah pandemi Covid-19.
Ritual yang dikenal juga dengan istilah 'Rebo Bontong' ini digelar secara rutin setiap bulan Safar dalam Kalender Islam. Perayaan Rebo Bontong tahun ini digelar pada Rabu (6/10) lalu.
Berlokasi di Gili Meno, NTB ritual Rebo Bontong ini tersaji dalam bentuk perpaduan budaya masyarakat Lombok Utara dan dibalut dalam nuansa Islami. Ritual dikemas sedemikian rupa agar menjadi daya tarik bagi wisatawan.
Meski dalam masa pandemi, tahun ini tradisi Rebo Bontong di Gili Meno tetap berlangsung walaupun terkesan sederhana. Meski sederhana, tetapi tidak mengubah makna maupun arti dari ritual maupun nilai-nilai tradisi yang sudah melekat di kalangan warga Gili Meno.
Acara berlangsung khidmat dan diikuti lantunan selakaran dan dzikir. Puncak acara, menjadi momen paling ditunggu-tunggu masyarakat yaitu mandi di laut. Warga yang hadir harus rela diceburkan atau menceburkan diri ke laut.
Tradisi ini jadi makin menarik karena Wakil Bupati Lombok Utara, Dani Karter Febrianto yang hadir, ikut diarak warga lalu diceburkan ke laut. Tradisi tahunan itu pun mengundang decak kagum dan senyum wisatawan nusantara yang hadir di Gili Meno.
Kepala Dinas Pariwisata NTB, Yusron Hadi, menyebut tradisi Rebo Bontong ini merupakan aset budaya masyarakat Lombok. Aset budaya masyarakat Lombok, jika dikemas dengan menarik, bisa menjadi atraksi yang layak jual selama masa pemulihan pariwisata NTB.
"Jelas ini aset berharga. Jika dikemas dalam balutan tradisi yang unik dan menarik maka tradisi ini memiliki nilai jual yang tinggi untuk pariwisata NTB. Atraksi ini layak jual dan bernilai ekonomi tinggi," kata Yusron, dalam keterangannya, Senin (11/10/2021).
Selanjutnya: Makna Ritual Mandi Safar
(wsw/rdy)