Syarat hasil tes negatif PCR untuk naik pesawat terbang dikritik banyak kalangan terutama insan penerbangan. Persyaratan ini diyakini membuat industri penerbangan dan pariwisata kembali terpuruk.
Pemerintah beralasan tes PCR untuk naik pesawat diperlukan karena sudah tidak diterapkan gap antara tempat duduk di pesawat sehingga maskapai penerbangan bisa mengangkut penumpang dengan kapasitas penuh.
Alasan lainnya adalah demi mencegah terjadinya gelombang ketiga COVID di Indonesia yang dikhawatirkan terjadi pada akhir tahun nanti.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun syarat PCR ini dinilai tidak adil karena moda transportasi lain yang justru sama padat dan malah lebih lama waktunya tidak diperlukan PCR. Apalagi untuk beberapa destinasi, kadang tes PCR malah lebih mahal dari tiket pesawat.
Panel ahli Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait COVID-19 Dicky Budiman menilai pemerintah kurang bijak saat mewajibkan syarat PCR untuk transportasi pesawat. Terlebih, risiko penularan COVID-19 di pesawat terbilang rendah.
"Kalau bicara penerbangan pesawat, risiko terjadinya klaster penularan di pesawat itu sangat kecil dibanding moda transportasi lain, karena dia ada filter dengan HEPA sirkulasi 20 kali dalam sejam, membuat transmisi menjadi sangat kecil," ungkap Dicky kepada detikcom, ditulis Senin (25/10/2021).
Pihak lain yang mengkritisi adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). YLKI menyebut kebijakan pemerintah memberlakukan syarat penumpang pesawat wajib melakukan tes PCR di Jawa dan Bali itu dibatalkan atau setidaknya direvisi. Misalnya, waktu berlaku PCR menjadi 3x24 jam, mengingat lab PCR di daerah tidak semua bisa cepat mengeluarkan hasil pemeriksaan. Atau syaratnya cukup antigen saja, tapi harus sudah dua kali divaksin Covid-19.
"Dan turunkan HET PCR menjadi kisaran menjadi Rp 200 ribuan," kata Ketua YLKI Tulus Abadi dalam rilis.
YLKI bahkan menilai ada pihak yang mengambil kesempatan di dalam kesempitan pada syarat naik pesawat wajib tes PCR itu.
"HET (harga eceran tertinggi) PCR di lapangan banyak diakali oleh provider dengan istilah 'PCR Ekspress", yang harganya tiga kali lipat dibanding PCR yang normal. Ini karena PCR normal hasilnya terlalu lama, minimal 1x24 jam," kata Tulus.
YLKI menilai kebijakan wajib PCR bagi penumpang pesawat adalah kebijakan diskriminatif karena memberatkan dan menyulitkan konsumen. Diskriminatif juga bisa dilihat karena syarat yang berlaku di sektor transportasi lain cukup menggunakan antigen, bahkan tidak pakai apapun.
"Jangan sampai kebijakan tersebut kental aura bisnisnya. Ada pihak-pihak tertentu yang diuntungkan," kata dia.
Selain YLKI, dr Tirta melalui akun Twitter-nya, @tirta_cipeng, juga meminta agar swab PCR sebagai syarat naik pesawat dihapus. Syarat naik pesawat cukup menggunakan swab antigen sebagai alat diagnosis dan screening. Dia beralasan penularan Corona di pesawat itu rendah.
"Kembalikan fungsi swab PCR menjadi alat diagnosa. Cukup screening antigen saja. Karena agak aneh aja, kenapa hanya naik pesawat yang diwajibkan swab PCR. Padahal sudah beberapa sumber ilmiah yang menekankan justru penularan di pesawat itu paling rendah," tulis dr Tirta.
Kini setelah ada syarat PCR itu muncul petisi penghapusan PCR sebagai syarat penerbangan di situs change.org. Petisi diinisiasi oleh Herlia Adisasmita dan sudah diteken oleh lebih dari 14 ribu orang.
Berikut isi petisi penghapusan PCR:
Pandemi sudah berjalan hampir dua tahun! Ekonomi dunia hancur lebur. Yang harus semua orang ketahui, BALI jauh lebih terperosok dari provinsi manapun di Indonesia. Hingga detik ini masyarakat pekerja masih lebih banyak yang menggangur, dan pengusaha masih terus-terusan tumbang satu persatu. Kesulitan ekonomi di Pulau Bali, bukan masalah sepele.
Dua tahun itu panjang sekali. Nasib kami benar-benar bergantung pada kedatangan teman-teman turis domestik. Lalu aturan wajib PCR sekonyong-konyong muncul dengan alasan yang dibuat-buat. Bubar jalan semua rencana para turis domestik untuk berlibur. Harga PCR masih sangat mahal, dan tidak semua klinik menawarkan hasil 1-2 hari selesai.
Baru saja kami mulai senyum, sekarang siap-siap kelaparan lagi!
Kami mohon:
Hapuskan aturan wajib PCR untuk penerbangan
Atau turunkan harga PCR secara signifikan
Kami ini bukan sekadar angka, kami bernyawa. Pengusaha dan pekerja maskapai penerbangan, hotel, mall, restauran, butik, toko suvenir, pengusaha transportasi, sopir, event organizers, florist, pemusik, agen perjalanan, bahkan warung dan penjual di pasar-pasar tekena dampak yang cukup berat. Ekosistem pariwisata itu besar dan berlapis, semuanya manusia yang punya keluarga, punya anak. Butuh penghasilan.
Kami harus bagaimana lagi? bangkrut sudah, nganggur sudah, kelaparan sudah, bahkan banyak diantara kami yang depresi, rumah tangga berantakan karena faktor ekonomi, atau bahkan bunuh diri.
Kami harus bagaimana lagi? prokes sudah, vaksin sudah, Peduli Lindungi sudah. Selama ini dengan antigen-pun semua berjalan baik-baik saja tanpa kenaikan jumlah kasus. Kenapa tiba-tiba PCR? Sebegitu berlebihankah kami yang hanya ingin bisa bertahan hidup?
Teman-teman di seluruh Indonesia, terutama Jawa-Bali, pelaku industri pariwisata dan ekosistemnya, serta para pecinta Pulau Bali, mari satukan suara!
Mewakili masyarakat Bali, Masyarakat Pariwisata dan Seluruh Rakyat Indonesia yang merindukan logika dan keadilan.
Menuju 10.000 suara,
Herlia Adisasmita
(Rakyat Kecil)
(ddn/ddn)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!