Kampung Batik Giriloyo Hadapi Tantangan Pandemi dan Regenerasi

Putu Intan - detikTravel
Minggu, 26 Des 2021 08:12 WIB
Membatik di Kampung Batik Giriloyo. Foto: Putu Intan/detikcom
Bantul -

Kampung Batik Giriloyo adalah penghasil batik tulis kualitas premium. Sayangnya, para perajin menemui tangan regenerasi dan beratnya pandemi COVID-19.

Pandemi COVID-19 yang berlangsung selama dua tahun tentu berdampak pada produksi batik tulis di Kampung Batik Giriloyo, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Pendapatan para perajin turun drastis karena permintaan batik yang minim.

"Penurunan pada tahun 2020 sekitar 90 persen. Karena tutup sedangkan kami lebih banyak mengandalkan penjualan offline. Online ada yang bisa tapi tidak banyak," kata salah satu perajin batik, Diah.

Diah juga menduga menurunnya permintaan batik ini karena daya beli masyarakat yang juga melemah selama pandemi COVID-19. Dalam kondisi normal, Kampung Batik Giriloyo ramai dikunjungi wisatawan yang ingin belajar membatik atau membeli batik.

"Daya beli masyarakat juga jauh menurun ketika pandemi. Uangnya dipakai untuk kebutuhan sehari-hari daripada wisata," ujar Diah.

Kampung Batik Giriloyo memang menjadi magnet bagi wisatawan domestik luar Kota Yogyakarta dan wisatawan asing. Diah bercerita, pelanggan mereka berasal dari berbagai negara mulai dari Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Malaysia, China dan Jepang.

Mahasiswa asing juga sering datang ke sana sebelum pandemi. Mereka umumnya datang ke Kampung Batik Giriloyo untuk mengenal batik.

"Biasanya ramai jika ada pertukaran mahasiswa asing dari UGM itu. Mereka dibawa ke sini untuk membuat batik," kenang Diah.

Batik tulis di Kampung Batik Giriloyo. Foto: Putu Intan/detikcom

Selain itu, Kampung Batik Giriloyo saat ini juga kehilangan banyak perajin batik. Ketika awal dibentuknya kelompok pembatik pada 2006, ada sekitar 1.000 orang-orang yang bergabung. Tapi pada tahun 2019 jumlahnya tinggal 600 orang.

Diah mengatakan, hal ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama soal minimnya pemasaran sehingga penghasilan dari penjualan batik tidak maksimal.

"Kami terkendala di pemasaran. Jadi kalau produk kita itu misalnya 600 orang bisa menghasilkan 600 batik, yang terjual belum bisa sebanyak itu," ujarnya.

Faktor kedua adalah pergeseran minat anak muda sebagai pembatik. Banyak anak-anak muda yang ingin melakoni profesi lain alih-alih menggantungkan hidup dari membatik.

"Ketika pendidikan mulai membaik, ekonomi membaik, mereka bisa meraih pendidikan yang lebih tinggi. Mereka bersekolah, kemudian ketika mereka lulus ada pergeseran yang dulu orang tuanya bekerja sebagai pembatik, mungkin anak perempuannya bergeser bukan ke batik. Jadi berkurang seperti itu jumlahnya," katanya.

Saat ini, rentang usia perajin di Kampung Batik Giriloyo di atas 30 tahun. Untuk usia yang paling tua sudah mencapai 80-85 tahun. Mereka semua adalah perempuan yang selain membatik, menjadi ibu rumah tangga.

Membatik di Kampung Batik Giriloyo. Foto: Putu Intan/detikcom

Diah melihat, anak-anak perempuan baru akan membatik ketika sudah berkeluarga. Jika masih membujang, mereka lebih memilih bekerja di luar desa.

"Yang bisa kita lihat ketika mereka menjadi ibu rumah tangga, mereka akan kembali ke batik lagi. Ketika sudah berkeluarga, punya anak, mereka kan tidak bisa melakukan bekerja di kantor, di pabrik. Mereka dengan menjaga keluarganya, menjaga anaknya, mereka mendapatkan tambahan penghasilan dari membatik," tuturnya.

Untuk menjaga regenerasi pembatik, Diah dan paguyuban pembatik di sana mengajarkan batik kepada anak-anak sejak dini. Batik juga sudah masuk dalam ekstrakulikuler sekolah sehingga diharapkan di masa depan batik tulis tersebut tetap eksis.



Simak Video "Batik Air Rayakan Ultah ke 12"

(pin/fem)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork