Bolak-balik nyepur di masa pandemi, kadang tebersit suudzon perihal test rapid antigen di stasiun kereta api. Sepanjang pengalaman, saya belum pernah menemukan penumpang positiv Covid-19.
Hingga kemudian, saya sendiri mengalaminya di Stasiun Gambir, Minggu (13/2) sekira pukul 20.00. Ya, malam itu saya dinyatakan positif Covid-19.
Suasana malam itu memang agak mendebarkan, saya merasa tak sepenuhnya sehat. Berkegiatan dalam kondisi panas hujan gerimis berselang-seling dalam sepekan ini di ibu kota, saya merasa mengalami flu di akhir Minggu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dan, justru lantaran itu, memilih perjalanan kereta api yg mensyaratkan negatif Covid. Setidaknya, bisa menghindarkan rasa bersalah turut menyebarkan virus ini.
Petugas seorang pria, memanggil satu-persatu calon penumpang serta menyerahkan lembaran kertas hasil test rapid antingen. Sepertinya sebagaimana biasa, semua negatif. Hingga, seorang tenaga kesehatan perempuan memegang selembar kertas memanggil namaku: Bapak Ritchie Ricardo, eh .... wkwkwk....
Seperti kerbau dicocok hidung, saya manut saja mengikutinya ketika perempuan yang bukan muhrim itu berucap lirih: ikuti saya...
Dia membawaku ke sebuah ruangan, cukup lebar namun dengan lampu yang tak cukup terang. Dan kami hanya berdua di ruangan itu, pandangan kami bersirobok, namun hanya diam terpaku...
"Apa yang bapak rasakan?" tanyanya.
"Ha, jangan macem2 Mbak, saya ini lelaki setia cinta keluarga....
"Ini hasilnya positif, Pak,"
"Jadi, saya harus tanggung jawab, begitu?"
Meski gagal berangkat ke Yogyakarta, saya tetap menjalankan saran dari nakes itu. Setelah mendapatkan tempat aman, saya segera melakukan swab PCR malam itu di sebuah lab 24 jam di bilangan Tebet Barat. Dan, hasilnya pun positif.
Atas petunjuk seorang kawan tenaga medis di gugus tugas covid-19, saya pun menuju Wisma Atlet Pademangan menjalani isolasi terpadu sejak Senin (14/2).
Gejalanya mirip flu dengan batuk pilek serta tenggorokan yang gatal. Pada dua hari pertama, setiap habis batuk seperti ada pisau silet yang nyangkut di tenggorokan. Perih sekali. Konon, ini khas varian omicron.
Paket obat dan vitamin untuk pasien bergejala ringan GB saya terima saat check in, mampu meredakan keluhan. Alhamdulillah, dalam lima hari gejala menghilang meski PCR H+5 tetap positif.
Melakoni isolasi di Wisma Atlet cukup menyenangkan walau berkebalikan dengan cara hidup selama ini. Setidaknya, makan teratur tiga kali sehari telah siap di depan kamar pada jam yang sama tiap hari lengkap dengan buah. Selingan kudapan terhidang pada jam 09.00 tiap hari. Nikmat mana lagi yang akan kau dustakan?
Jaringan internet cukup lancar namun informasi tentang program isolasi itu sendiri sangat minim. Tak ayal, pertanyaan tetangga kamar kapan bisa keluar dari sini pun tak terjawab.
Hingga sebuah ketuka agak keras di pintu kamarku, Selasa (22/2) siang itu, cukup mengagetkan.
Tiga petugas berhazmat, membawa lembaran-lembaran kertas.
"Bapak bisa cek-out siang ini, karena telah menjalani isolasi penuh 10 hari," ujar satu diantaranya sembari menyerahkan selembar surat.
Tak menunggu lama, saya pun berbegas, gowes kembali menuju Stasiun Pasar Senen, menumpang kembali kereta api yang tertunda...
Tetap sehat, tetap semangat, tetap disiplin menaati protokol kesehatan karena virus Covid-19 masih gentayangan di sekitar kita.
(fem/fem)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol