Garut menyimpan saksi bisu sejarah yang masih terawat hingga kini. Di sana ada masjid serupa gereja yang jadi lokasi penggempuran DI/TII pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Namanya adalah Masjid Al-Syuro Cipari. Tempat musyawarah itu dulunya masjid kecil dan hanya mampu menampung sekitar 30 orang saja.
Dijelaskan Nasyrul Fuad, pengurus Masjid Al Syuro Cipari, waktu awal-awal pergerakan kemerdekaan Indonesia, ketika SI mulai berkembang dari Solo ke Jawa Barat, Garut menjadi salah satu wilayah dengan pengikut Sarekat Islam yang luar biasa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sehingga, di Cipari menjadi salah satu basis pergerakan SI. Katanya, di Masjid Al Syuro Cipari sering menjadi tempat konferensi tingkat nasional sampai wilayah.
"Saking banyaknya yang datang dan masjid tak lagi menampung. Lalu ada inisiatif para sesepuh membangun masjid yang bisa menampung banyak orang, sekitar pada tahun 1920-an," terang dia.
"Tahun 1925 ide pembangunan masjid mulai digagas, tahun 1928 mulai bergerak. Di mana mulai ada rancang bangun dan kebetulan yang membuatnya masjid adalah pemimpin SI, R.M. Abikoesno Tjokrosoejoso, yang juga arsitektur. Lalu pada 1930-an mulai pembangunan," kata dia.
Sejak saat itu masyarakat mulai berbondong-bondong membangun Masjid Al Syuro Cipari. Lalu pada tahun 1935, masjid sudah difungsikan dan setahun kemudian diresmikan.
Kata Nasyrul Masjid Al Syuro Cipari tak pernah berubah sejak awal. Pihaknya belum pernah merenovasi besar-besaran masjid sejak 1930-an.
![]() |
Masjid Al Syuro Cipari bak gereja
Masjid Al Syuro Cipari bergaya khas bangunan Belanda. Masjid itu jadi yang paling awal dibangun dengan desain demikian.
"Kebetulan tahun 1925-30 gaya art deco menjadi tren di bangunannya, dari Eropa yang dibawa ke sini oleh Belanda. Karena itu, yang belum pernah digunakan di masjid mana-mana. Aneh mungkin. Biasanya gaya art deco untuk gedung pemerintahan Belanda atau gereja-gereja," kata dia.
"Makanya banyak yang beranggapan ini seperti gereja. Padahal hanya sama di gaya arsitektur saja," imbuh dia.
![]() |
Pengaruh pemberontakan DI/TII
Sebetulnya, kata Nasyrul, kasus DI/TII itu pertama kali terjadi di wilayah Garut. Pergolakan yang ada di Makassar-Aceh itu setelah Garut bergejolak.
"Ada pun para tokoh DI/TII terutama Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo karena sama-sama dari SI, dulu itu sudah biasa ke Cipari sini," kata dia.
Namun ketika dia mendirikan Negara Islam Indonesia (NII), KH Yusuf, sesepuh yang menjadi penasihat dia saat masa pergerakan kemerdekaan di Cipari, berpendapat bahwa untuk saat ini belum saatnya mendirikan negara Islam.
"Karena kemerdekaan baru seumur jagung, lebih baik bagaimana membangun dulu. Nanti dengan sendirinya kalau sudah memahami Islam rahmatan lil alamin maka akan terwujud jika masyarakat memahami Islam secara kaffah atau menyeluruh," katanya.
Karena perbedaan pendapat antara KH Yusuf dan Kartosoewirjo maka terjadilah konflik. Ia berpendapat bahwa Aceh dan Makassar sudah mengimaminya, maka di Garut jangan ada benih ketidaksepakatan.
"Saat konflik sampai ada 52 serangan ke sini, kecil dan besar. Besar ada tiga kali. Mereka gerombolan DI/TII, karena di Garut timur ini jadi basisnya," tegas Nasyrul.
"Mereka menggunakan senjata api bahkan senjata berat. Hanya masyarakat di sini terbantu oleh keamanan desa yang dipersenjatai ditambah Hisbullah," terang dia.
Ia juga menjelaskan bahwa pada zaman pergerakan kemerdekaan Indonesia, KH Yusuf menjadi pemimpinnya Hisbullah. Nantinya itu adalah salah satu elemen yang bergabung menjadi angkatan bersenjata RI.
"Mereka pernah mengangkat senjata di masa penjajahan Belanda dan kembali mengangkat senjata saat ada serang di pesantren ini. Terutama mempertahan pendapat kita belum saatnya ke sana," kata dia.
Di sini KH Yusuf itu bertahan karena sudah satu keluarga sebeumnya. Jadi bergerak bersama di Zaman Revolusi," terang Nasyrul.
Alasan DI/TII menyerang komplek Masjid Al Syuro Cipari
Nasyrul lalu menjelaskan tentang alasan DI/TII menyerang Masjid Al Syuro Cipari. Selain ketidaksepahaman, pihak Kartosoewirjo tak lagi didukung materi oleh warga sana.
"Gerombolan itu menyerang sini karena pada awalnya masyarakat mendukung DI/TII lewat iuran-sumbangan, tapi di saat gerakan mereka dianggap menyalahi lalu terjadi perampokan hingga penggeledahan, mengambil harta, maka kata KH Yusuf itu sudah keluar dari nilai Islam," terang dia.
"Akhirnya banyak masyarakat mengungsi ke sini dan berhentilah dukungan ke DI/TII hingga membuat marah. Alhamdulillah gedung masjid selamat, tapi rumah-rumah dari 52 dibumihanguskan, tinggal rumah belakang yang utuh," imbuh dia.
(msl/ddn)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol