Ketidakpastian hukum
Larangan memberikan status penduduk kepada pasangan asing warga Palestina di Tepi Barat, yang sudah lama diterapkan oleh Israel, berarti ribuan orang terus hidup dengan status hukum yang tidak pasti.
Kelompok kampanye Right to Enter mengeluhkan "praktik diskriminatif, kejam, dan sewenang-wenang oleh pihak berwenang Israel" telah menyebabkan "masalah kemanusiaan yang sangat besar" bagi pasangan asing yang mengakibatkan mereka dipisahkan secara paksa dari keluarga mereka di Tepi Barat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikatakan bahwa prosedur baru ini hanya akan "memformalkan dan memperburuk banyak pembatasan yang sudah ada" dan "akan memaksa banyak keluarga untuk pindah atau tinggal di luar negeri untuk menjaga persatuan keluarga mereka."
Beberapa kategori kunjungan ke kerabat tidak tercantum sama sekali dalam aturan baru, termasuk kunjungan ke saudara kandung, kakek-nenek, dan cucu.
Di bawah program Erasmus+, 366 siswa dan staf pendidikan tinggi Eropa pergi ke Tepi Barat pada tahun 2020. Pada saat yang sama, 1.671 orang Eropa berada di institusi Israel.
"Dengan Israel sendiri yang sangat diuntungkan dari Erasmus+, Komisi menganggap bahwa mereka harus memfasilitasi dan tidak menghalangi akses siswa ke universitas-universitas Palestina," kata Komisaris Eropa Mariya Gabriel.
Kekhawatiran berbisnis
Petisi HaMoked ke Pengadilan Tinggi diikuti oleh 19 orang.
Bassim Khoury, CEO sebuah perusahaan farmasi Palestina di Tepi Barat, mengatakan kemampuannya akan sangat terbatas dalam membawa karyawan, investor, pemasok, dan pakar kontrol kualitas dari luar negeri akibat pembatasan visa dan biaya perjalanan.
Aturan baru menetapkan bahwa pengunjung asing yang datang dengan izin khusus Tepi Barat diwajibkan untuk melakukan perjalanan darat dengan menyeberang dari Yordania dan hanya dapat menggunakan bandara Ben Gurion Israel dalam kasus luar biasa.
Salah satu investor utama Khoury adalah warga Yordania, dan aturan baru sepenuhnya mengecualikan warga negara Yordania, Mesir, Maroko, Bahrain, dan Sudan Selatan - meskipun negara-negara ini memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Pemegang paspor dari negara-negara ini - termasuk warga negara ganda - hanya dapat memasuki Tepi Barat dalam kasus luar biasa dan kemanusiaan untuk jangka waktu terbatas.
Penandatangan petisi lainnya adalah Dr Benjamin Thomson, yang mengepalai badan amal Kanada, Keys to Health, yang mengirim profesor medis dari Amerika Utara dan Inggris untuk melatih dokter-dokter Palestina.
"Siapa pun yang terlibat dalam pekerjaan di Wilayah Pendudukan Palestina sudah terbiasa dengan beberapa penundaan administratif dalam mendapatkan izin," katanya.
"Peraturan baru ini memperburuk penundaan itu, menambah biaya, dan mengurangi prediktabilitas perjalanan masuk dan keluar Tepi Barat.
"Prediktabilitas ini sangat penting untuk dapat melakukan pekerjaan amal di Tepi Barat sambil tetap dapat terus [melakukan pekerjaan berbayar] di luarnya," lanjutnya. Ia berpendapat bahwa aturan baru dapat mencegah dokter yang dipekerjakan di tempat lain untuk dapat menjadi sukarelawan.
Pada bulan Juli, Pengadilan Tinggi menolak petisi tentang aturan tersebut sebagai "prematur," yang menunjukkan bahwa Cogat belum mencapai "keputusan akhir" soal itu. Namun, belum ada perubahan yang diumumkan pada prosedur tersebut yang resmi diterbitkan secara online atau penerapan yang dijadwalkan.
Simak Video "Video: Warga Israel Picu Bentrok di Tepi Barat, 3 Warga Palestina Tewas"
[Gambas:Video 20detik]
(fem/fem)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!