Ini Lho Kelemahan Indonesia dalam Kembangkan Wisata Ramah Muslim

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Ini Lho Kelemahan Indonesia dalam Kembangkan Wisata Ramah Muslim

Yasmin Nurfadila - detikTravel
Kamis, 22 Sep 2022 06:42 WIB
Pembahasan mengenai pengembangan wisata ramah muslim dalam acara Islamic Digital Day 2022.
Pemaparan CEO CrescentRating dan HalalTrip Fazal Bahardeen dalam acara Islamic Digital Day 2022. Foto: Yasmin Nurfadila/detikTravel
Jakarta -

Indonesia mematok target menguasai peringkat pertama dalam Global Muslim Travel Index 2023. Penyelenggara mengungkap kelemahan wisata muslim di Indonesia.

Indonesia cuma berada di peringkat kedua dalam penilaian Global Muslim Travel Index 2022 yang dikeluarkan oleh CrescentRating yang bekerja sama dengan MasterCard. Sejak masuknya Indonesia dalam penilaian ini, Indonesia telah konsisten berada di 6 besar.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno menuturkan bahwa Indonesia tak boleh berpuas diri. Untuk Global Muslim Travel Index 2023, pemerintah menargetkan Indonesia dapat meraih peringkat pertama.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tapi saya sudah sampaikan, kita tidak boleh berhenti di sini. Target kita untuk 2023 kita berhasil meningkatkan dari 70 nilai kita menjadi 75. Mudah-mudahan ini bisa membawa kita menjadi peringkat pertama," kata Sandiaga Uno pada sambutannya dalam acara Islamic Digital Day 2022, Rabu (21/9).

CEO dari CrescentRating dan HalalTrip Fazal Bahardeen yang menjadi penyelenggara penilaian ini berkesempatan untuk hadir dalam acara Islamic Digital Day tersebut. Ia mengungkapkan bahwa Indonesia pada dasarnya telah memiliki poin-poin yang dibutuhkan untuk meraih ranking pertama.

ADVERTISEMENT

"Tidak perlu diragukan lagi, Indonesia telah memiliki semua bahan untuk menjadi peringkat satu. Yang perlu diperhatikan adalah faktor-faktor penilaian yang ada dalam ACES Model," kata Fazal kepada media dalam bahasa Inggris.

ACES Model 3.0 merupakan indikator penilaian yang menjadi acuan Global Muslim Travel Index. Dalam model rating ini terdapat empat kategori, yaitu akses, komunikasi, lingkungan, dan layanan. Dengan persentase penilaian terbesar ada pada kategori layanan, yakni sebesar 40 persen.

Fazal melanjutkan bahwa salah satu kekurangan Indonesia serta negara-negara mayoritas muslim lainnya ada pada poin komunikasi. Banyak negara mayoritas muslim yang masih beranggapan bahwa sebagai negara muslim mereka sudah tak perlu lagi mengkomunikasikan wisata ramah muslim mereka.

"Menurut saya yang paling penting adalah komunikasi. Di negara-negara muslim biasanya komunikasi menjadi salah satu poin yang masih perlu perbaikan. Umumnya negara-negara muslim merasa karena mereka adalah negara mayoritas muslim maka mereka tidak perlu melakukan komunikasi baik secara internal maupun eksternal," ujarnya.

Belum banyak negara muslim yang menyadari pentingnya mengedukasi warga dan para pihak terkait mengenai fasilitas wisata ramah muslim mereka.

"Negara-negara mayoritas muslim kebanyakan tidak menyadari bahwa meski mereka merupakan negara muslim, mereka tetap perlu mengedukasi warga lokal, stakeholders. Juga tetap perlu berkomunikasi kepada dunia luar," Fazal menambahkan.

Hal ini juga disepakati oleh Senior Consultant Amicale Lifestyle International Hafizuddin Ahmad. Ia mengutarakan bahwa salah satu kekurangan masyarakat Indonesia adalah tidak menyadari pentingnya sertifikasi dan label halal. Sementara salah satu poin penting yang dapat membuat nyaman para wisatawan muslim adalah keberadaan sertifikat atau label halal di tempat makan.

"Karena merasa mayoritas Muslim, tidak merasa butuh sertifikat halal... Sedangkan bukti untuk menunjukkan halal itu dengan sertifikat," ujarnya.

Fazal kemudian menambahkan bahwa selain komunikasi, Indonesia juga memerlukan kerja sama dari berbagai pihak. Terutama untuk menggabungkan faktor-faktor wisata ramah muslim yang telah dimilikinya.

"Indonesia memiliki semua faktor yang dibutuhkan, tinggal bagaimana caranya menggabungkan semua faktor tersebut. Serta saya rasa dibutuhkan lebih banyak kerja sama antar stakeholders. Kementerian saja tidak akan bisa melakukannya, pelaku usaha saja juga tidak akan bisa. Saya rasa dibutuhkan PPP (Public-Private Partnership) atau kerja sama antara pemerintah dengan swasta," lanjutnya.

Pembahasan mengenai pengembangan wisata ramah muslim dalam acara Islamic Digital Day 2022.Peluncuran buku panduan pariwisata ramah muslim dalam acara Islamic Digital Day 2022. Foto: Yasmin Nurfadila/detikTravel

Menanggapi hal tersebut, Direktur Industri Produk Halal KNEKS Afdhal Aliasar menyampaikan bahwa buku panduan wisata ramah muslim yang baru saja diluncurkan merupakan salah satu bentuk komunikasi yang dilakukan pemerintah dengan para wisatawan.

"Buku ini salah satu contoh komunikasi. Buku ini juga tersedia dalam bentuk e-book. Bisa diunduh di website KNEKS ataupun di website Indonesia Travel di Kemenparekraf," ujarnya kepada media.

Selain sebagai bentuk komunikasi, diluncurkannya buku ini juga merupakan salah satu bentuk digitalisasi. Mengingat buku ini tak hanya diluncurkan dalam bentuk fisik, tetapi juga e-book.

"Jadi digitalisasi yang kita lakukan pada hari ini, Islamic Digital Day memang mengangkat topik bagaimana mengkomunikasikan materi-materi atau konten-konten destinasi pariwisata Indonesia bisa lebih mudah lagi diakses oleh para wisatawan, oleh para stakeholder. Jadi mereka lebih paham, kami perlu untuk memperbanyak makanan halal, lebih banyak fasilitas untuk bersuci, air bersih, dan segala macem," pungkasnya.




(ysn/fem)

Hide Ads