Pernah Icip Belum? Es Puter Legendaris di Tabanan, Sejak 1970

Chairul Amri Simabur - detikTravel
Senin, 10 Okt 2022 13:55 WIB
Foto: Katimo atau lebih dikenal dengan sapaan Pak Mo, penjual es puter legend di Tabanan. (chairul amri simabur/detikBali)
Tabanan -

Es Puter Pak Mo amat legendaris. Traveler pernah singgah di kedainya dan mencicipinya?

Es puter ini dijajakan sejak awal 1970 dan eksis hingga kini. Traveler dapat menemukan es puter legendaris ini di areal bawah Pasar Dari Harapan, tepatnya di bawah bekas Tabanan Teater.

Sesuai namanya, es puter ini dibuat Pak Mo, panggilan ringkas dari Katimo (74), asal Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Meski sudah tidak turun langsung berjualan, Pak Mo rupanya masih ambil andil meracik adonan es puter tersebut.

"Sekarang mengaso. Tapi masih tetap buat adonan. Anak yang jualan di pasar. Kalau adonan saya tidak boleh tidak (ikut membuat). Anak-anak sudah saya ajarkan, tapi belum berani lepas," kata Pak Mo dalam perbincangan dengan detikBali.

Saat dijumpai di rumahnya, Jalan Jepun, Banjar Tegal Belodan, Desa Dauh Peken, Tabanan, Pak Mo bercerita sudah mulai berjualan es puter sejak 1969. Saat itu usianya baru memasuki 20 tahunan.

"Tadinya saya merantau ke Jakarta pada 1967. Di sana jualan bakso sekitar dua tahun. Lumayan lancar. Tapi saya sakit-sakitan. Akhirnya ikut kakak-kakak saya pindah ke Bali," kata dia.

Saat tiba di Bali pada 1969, ia berjualan es puter di beberapa wilayah di Kota Denpasar. Waktu itu, ia diberi modal oleh kakaknya berupa gerobak pikul.

Selama setahun, ia berjualan dengan berjalan kaki sembari memikul gerobak. Beberapa tempat yang ia susuri antara lain Gerenceng, Balun, Monang Maning, Tegal. Terkadang bisa sampai Kampung Jawa hingga Tampak Gangsul.

"Waktu itu saya masih tinggal di Pekambingan. Jualannya masih pikul gerobak. Baru setelah 1970 saya pindah ke Tabanan. Jualannya pakai gerobak dorong," tuturnya.

Es puter Pak Mo saat dijual di Pasar Sari Harapan, Tabanan. Foto: Es puter Pak Mo saat dijual di Pasar Sari Harapan, Tabanan. (Chairul Amri Simabur/detikBali)


Di Tabanan, ia mulai merintis usaha es puter. Awalnya ia mesti berjalan kaki sambil mendorong gerobak dari wilayah Banjar Pengabetan, Desa Dauh Peken, menyusuri Jalan Gajah Mada hingga berakhir di depan Gedung Krida Teater.

"Dulu namanya Gedung Krida Teater. Nah Tabanan Teater itu baru dibangun 1980. Kalau tidak salah dua atau tiga tahun selesai baru dinamakan Tabanan Teater," ujarnya mengingat.

Selagi Tabanan Teater dibangun, ia sempat pindah lokasi berjualan yakni ke Gedung Kesenian I Ketut Maria. Karena bioskop saat itu dipindah ke gedung tersebut.

"Ramainya pas malam minggu dan hari Minggu. Begitu Tabanan Teater selesai dibangun, baru saya pindah dari Gedung Maria ke Tabanan Teater," ujarnya.

Di masa itu, karena berjualan sambil berjalan kaki, ia biasa memanggil pembeli dengan menggunakan lenengan atau lonceng dari perunggu.

"Lenengannya masih ada. Dari perunggu. Saya simpan di gudang," tuturnya.

Seiring waktu, ia sudah tidak lagi berjualan sambil berjalan kaki. Ia tinggal jalan dari rumahnya menuju Pasar Sari Harapan. Biasanya pukul 09.00 Wita, toko-toko di komplek pertokoan tersebut sudah buka.

"Uang seratus rupiah waktu 80-an itu sudah besar. Kalau lagi laris bisa sampai 200 hingga 300 rupiah. Tarikan (harga jual) waktu itu Rp 5 sampai Rp 10 rupiah," ujarnya.



Simak Video "Video Sensasi Makan di Warung Sambil Lihat Aneka Satwa dari Dekat"

(fem/fem)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork