Resesi Seks, Krisis Kelahiran, Sekolah di Jepang pun Banyak yang Tutup

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Resesi Seks, Krisis Kelahiran, Sekolah di Jepang pun Banyak yang Tutup

Syanti Mustika - detikTravel
Jumat, 31 Mar 2023 20:05 WIB
Ilustrasi murid SD di Jepang membawa tas
Ilustrasi siswa Jepang (Getty Images/iStockphoto/anurakpong)
Jakarta -

Kondisi krisis kelahiran di Jepang benar-benar mengkhawatirkan. Kehabisan siswa, banyak sekolah-sekolah di Jepang yang mengumumkan tutup.

Elita Sato dan Aoi berjalan di aula upacara kelulusan sekolah SMP. Sepi, tak ada hiruk pikuk tepuk tangan dalam upacara kelulusan mereka. Upacara kelulusan hanya dirayakan bersama para guru saja.

Ya, mereka adalah 2 siswa terakhir dari sekolah SMP Yumoto, di bagian pegunungan Jepang utara. Sekolah berusia 76 tahun itu akan menutup pintunya untuk selamanya ketika tahun ajaran berakhir pada hari Jumat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami mendengar desas-desus tentang penutupan sekolah di tahun kedua kami, tetapi saya tidak membayangkan itu akan benar-benar terjadi. Saya terkejut," kata Eita, dilansir dari Reuters, Jumat (31/3/2023).

Sekolah Yumoto, sebuah bangunan dua lantai yang terletak di pusat distrik, memiliki sekitar 50 lulusan per tahun selama masa kejayaannya di tahun 1960-an. Foto-foto setiap kelulusan tergantung di dekat pintu masuk, dari hitam putih menjadi berwarna dengan jumlah siswa yang terlihat dan tiba-tiba menurun dari sekitar tahun 2000.

ADVERTISEMENT

Tidak ada gambar dari tahun lalu. Sedih...

Karena angka kelahiran di Jepang anjlok lebih cepat dari yang diperkirakan, penutupan sekolah meningkat terutama di daerah pedesaan seperti Ten-ei, area ski pegunungan dan mata air panas di prefektur Fukushima. Ini jadi pukulan hebat bagi jepang yang sedang 'melakukan apapun' untuk meningkatkan jumlah populasinya.

Biaya hidup dan membesarkan anak yang mahal, membuat negara-negara seperti Jepang, China dan Korea Selatan enggan untuk memiliki keturunan, bahkan menikah. Namun Jepang menunjukkan angka yang lebih rendah dibanding lainnya.

Padahal Perdana Menteri Fumio Kishida telah menjanjikan berbagai hal untuk meningkatkan angka kelahiran, termasuk menggandakan anggaran untuk kebijakan terkait anak, dan mengatakan menjaga lingkungan pendidikan sangat penting. Namun, kebijakan ini tak banyak berdampak.

Angka kelahiran anjlok di bawah 800.000 pada tahun 2022 dan ini adalah rekor terendah baru. Memang membuat terkejut karena perkiraan yang terjadi sekitar 8 tahun ke depan, malah datang lebih cepat.

Angka kecil ini sangat berdampak pada perdesaan yang memang jumlah penduduknya tidak seramai di kota.

Dari data pemerintah Jepang, sekitar 450 sekolah tutup setiap tahun. Antara tahun 2002 dan 2020, hampir 9.000 menutup gerbang sekolah selamanya, sehingga sulit bagi daerah terpencil untuk memikat penduduk baru dan lebih muda.

Bisa bayangkan, betapa sepinya daerah bila tak ada sekolah SMP karena tak ada lagi ada anak-anak di sana?

Para ahli memperingatkan bahwa penutupan sekolah di pedesaan akan memperlebar kesenjangan nasional dan membuat daerah terpencil berada di bawah tekanan yang lebih besar.

"Penutupan sekolah berarti kotamadya pada akhirnya akan menjadi tidak berkelanjutan," kata Touko Shirakawa, dosen sosiologi di Universitas Wanita Sagami.

Belum diketahui bagaimana nasib gedung sekolah Ten-ei, namun di bagian lain Jepang, sekolah yang ditutup telah menjadi kilang anggur atau museum seni.




(sym/fem)

Hide Ads