Konflik nelayan besar dan nelayan tradisional diprediksi berimbas signifikan terhadap kekayaan laut di Indonesia. Pemerintah diingatkan untuk mencegah konflik dua nelayan itu.
World Ocean Day atau Hari Laut Sedunia dirayakan pada 8 Juni tiap tahunnya. Itu sebagai pengingat agar masyarakat global tidak lupa terhadap pentingnya merawat laut beserta isinya.
Nelayan dinilai memiliki peran besar untuk menjaga laut dan isinya. Salah satu masalah yang mengemuka adalah terjadiny konflik antara nelayan besar yang modern dengan nelayan kecil tradisional. Dengan perbedaan teknologi dan daya tangkap, seharusnya dua kelompok itu berada di daerah penangkapan berbeda. Tetapi, faktanya kedua nelayan dengan skala berbeda tersebut menangkap ikan di daerah yang sama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senior Advisor Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Andreas Aditya Salim, dalam diskusi di program Detik Pagi, Kamis (8/6/2023), menceritakan situasi itu memicu konflik antarnelayan. Khususnya, jika kapal berskala besar datang mengeruk area laut yang seharusnya jadi objek bagi nelayan kecil.
Menurut Andreas, yang bekerja di lembaga Think Tank yang membahas isu kelautan, pemerintah Indonesia seharusnya mempunyai aturan yang jelas dan juga pengawasan yang ketat agar menghindarkan konflik di antara nelayan, juga untuk menjaga keberlanjutan laut.
"Pemerintah harus punya power untuk mengatur mereka supaya tidak saling konflik dan kemampuan pengawasan. Karena kalau punya peraturan tapi tidak punya pengawasan itu sama saja hanya sekedar kertas," ujarnya.
"(Sebenarnya) sudah ada aturan pembagiannya, tapi itu tadi ada beberapa hal yang IOJI soroti itu misalkan soal pengawasan yang masih kurang. Indonesia secara umum punya permasalahan pengawasan di berbagai sektor," kata Andreas.
Hal ini penting bagi Andreas, khususnya dalam konteks keberlanjutan ekonomi kelautan. Ia menjelaskan jika kapal-kapal besar dibiarkan menangkap ikan di zona dekat pesisir, misalnya sekitar 0-4 mil, nelayan dengan kapal besar tersebut dapat beresiko merusak ekosistem dengan parah.
"Misalnya di situ ada daerah udang yang sangat kaya dan dikeruk semua. Itu tadi, ikan sih bisa berkembang biak, tapi jika dieksploitasinya terlalu berlebihan ya kolaps," kata dia.
"Jadi saat kapal-kapal skala besar datang, yang mereka berorientasi profit dan mengeruk semuanya, jadinya konflik dong. Misalnya, nelayan yang pakai dayung tadinya tiga hari sudah dapat ikan misal sekian ratus kilo, tapi sekarang butuh berminggu-minggu dan ikannya kecil-kecil, itu dampak riil tuh. Ikannya kecil dan waktu melautnya makin lama," dia menjelaskan.
Dia menyebut bahwa nelayan lokal Indonesia khususnya nelayan kecil sebenarnya punya kultur yang baik dan juga berkelanjutan. Kultur tersebut muncul karena para nelayan ini tumbuh dan hidup bersamaan dengan alam selama bertahun-tahun bahkan antar generasi.
"Nelayan kita itu sebenarnya punya banyak kearifan lokal yang sebenarnya pro lingkungan. Karena mereka sehari-hari tumbuh di laut kan, jadi mereka tahu bagaimana cara berinteraksi dengan laut secara berkelanjutan," katanya.
Namun akibat pengawasan yang tidak berjalan dengan baik, tak jarang hal ini yang jadi awal mula konflik dan justru beresiko makin memperparah kondisi laut Indonesia.
"Dan itu memang benar-benar bisa berakhir konflik, misalnya nelayan kecil membakar kapal yang besar, karena mereka kesal karena cara penangkapan kapal-kapal besar itu," ujar dia.
Baginya, yang perlu diusahakan untuk upaya keberlanjutan antara nelayan dan laut Indonesia adalah diberdayakan kembali para nelayan kecil serta hak-hak nelayan juga mesti disadarkan terkait hak-hak para nelayan.
(wkn/fem)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Prabowo Mau Borong 50 Boeing 777, Berapa Harga per Unit?
Prabowo Mau Beli 50 Pesawat Boeing dari Trump: Kita Perlu Membesarkan Garuda