Konflik antara sopir angkutan online dengan ojek konvensional terjadi juga di Bali. Mereka memperebutkan rupiah demi rupiah dari wisatawan di jalanan Bali.
Pemalakan yang dilakukan oleh sopir angkutan pangkalan terhadap turis Singapura di Canggu yang viral di media sosial beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa konflik antara angkutan online dan konvensional di Bali belum benar-benar padam.
Padahal, sudah hampir satu dekade transportasi online hadir ikut memburu lezatnya kue pariwisata di Bali. Sudah tak terhitung lagi banyaknya cerita tentang konflik antara kedua jenis angkutan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, seiring waktu, intensitas konflik tak lagi tinggi. Keduanya sama-sama mencoba berdamai. Demi perut yang sama-sama harus terisi.
Agus Ridiyanto (55), adalah satu dari sekian banyak pengemudi taksi berbasis aplikasi di Bali. Agus bekerja sampingan sebagai sopir online sejak April 2017.
Awalnya, Agus adalah pengemudi Uber. Namun, sejak Uber menghilang dan bergabung dengan Grab sejak 2018 lalu, otomatis atribut Agus pun berganti.
Selama melakoni melakoni pekerjaan di jalan raya, Agus mengaku pernah berkonflik dengan sopir konvensional atau pangkalan. Setidaknya, dua kali konflik yang Agus ingat.
Pertama, saat dirinya menerima pesanan antar jemput dari calon penumpang di Pelabuhan Padangbai, Karangasem. Dia mengaku pernah dihampiri dan ditegur oleh salah seorang sopir pangkalan. Adu argumen terjadi. Agus yang dikerubuti beberapa sopir lokal di wilayah tersebut akhirnya mengalah.
Kedua, pria yang tinggal di wilayah Sempidi, Badung, itu juga pernah berkonflik dengan sopir pangkalan saat menjemput penumpang di kawasan Ubung, Denpasar. Sopir di sana mengira Agus sengaja ngetem di kawasan tersebut yang notabene adalah 'zona merah' bagi sopir angkutan online.
Tak ingin memperkeruh situasi, akhirnya Agus memilih untuk mengalah. Menurutnya, dia hanya memenuhi pesanan penumpang tanpa bermaksud menyerobot area operasional sopir setempat.
"Cuma saya ya (bersikap) lunak dahulu saja. Karena, istilahnya bukan saya yang nyari (penumpang). Saya dipanggil. Saya dapat pesanan ke sana. Tapi saya nekat saja. Namanya, sudah dapat (penumpang) ya sudah tak ambil saja," tutur Agus yang sudah menetap di Bali sejak 1987. Seiring waktu, konflik-konflik seperti itu sudah jauh berkurang.
Menurutnya, konflik semacam itu dapat saja dihindari. Sebab, sopir online umumnya tidak berhenti di satu tempat alias ngetem dalam waktu lama. Berbeda dengan ojek online sepeda motor yang memang sering mangkal di sejumlah lokasi tertentu.
"Kalau (ojol) sepeda motor kan fleksibel. Kalau mobil, di trotoar pun kami mikir. Jadi, kadang-kadang kami cuma berhenti sebentar, beberapa menit, 10 sampai 15 menit, nggak dapat orderan lalu jalan," ujarnya.
Menurut Agus, memang ada beberapa kawasan zona merah bagi taksi online. Misalnya, wilayah Canggu dan jalanan Pantai Kuta.
Konflik Ojol vs Ojek Pangkalan
Konflik antara ojek online dan konvensional juga diceritakan Kholilluloh, seorang driver ojol. Ada beberapa pengalaman pahit yang dirasakan. Salah satunya, Kholilulloh pernah diusir dari salah satu club di Canggu. Sebabnya, ia menunggu penumpang di wilayah opal.
"Malem-malem banget. Itu biasanya di sana (club) banyak ojek pangkalan. Saya pas kebetulan lewat sana, karena dapat dari aplikasi, ternyata sampai di sana dimarahin, disuruh pergi, 'Pergi sana, ngapain di sini?'" kisahnya.
Ia menuturkan ada beberapa daerah yang dikuasai opang. Walhasil, ini menjadi zona merah para ojol.
"Terutama di Canggu (Pantai Berawa), Terminal Ubung, Mengwi, zona merah, ada opangnya. Di Seminyak itu ada beberapa bagian titik yang memang dilempar ojol tuh nggak boleh," jelas pria berusia 29 tahun yang menjadi driver Gojek merangkap Shoppee Food tersebut.
Ada yang Belum Berkonflik dengan Opang
Berbeda dengan Agus, Moh Ari Anggri Saputra (22), driver ojol yang berasal Banyuwangi, mengaku belum pernah berkonflik dengan opang sejauh ini. Sebab, ia sudah mengetahui wilayah atau daerah tertentu yang sudah menjadi zona merah para ojol.
Selain itu, Anggri rajin bertanya kepada sesama driver ojol apakah titik yang ia jemput termasuk zona merah atau tidak. Ia mengambil contoh di daerah Pandawa, Pecatu, Kuta Selatan, merupakan zona merah untuk para ojol.
"Di Pandawa, daerah Pecatu, Kuta selatan (zona merah). Di pantai-pantai lah. Saya dibilangin (diingatkan) sesama driver. Saya (biasanya) tanya, 'Pak, ini kira-kira ngambil orderan di sini boleh nggak?'" kata Anggri yang menjadi driver Gojek pada pertengahan 2021 ini.
Anggri lebih memilih untuk mengalah dari pada terlibat perkelahian dengan opang. "Daripada nanti berantem sama opangnya, mending ngalah gitu," ungkapnya.
Untuk diketahui, Anggri sering mangkal di daerah Pantai Berawa, Canggu, dan Kuta. Ia mangkal di daerah-daerah tersebut dari awal dia bekerja jadi ojek online.
-------
Artikel ini telah naik di detikBali.
(wsw/wsw)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol