Indonesia dijajah Belanda hingga ratusan tahun. Tetapi, bahasa Belanda relatif asing bagi warga RI.
Jejak bahasa Belanda memang ada. Tetapi, tidak banyak dan sudah dalam bentuk kata serapan. Di antaranya, gordijn menjadi gorden, atau bioscoop menjadi bioskop.
Pada dasarnya perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan corak kolonialisme Belanda dan Inggris. Inggris diketahui dengan sengaja melakukan 'invasi' kultural Barat ke masyarakat Melayu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Invasi ini membuat kebudayaan lokal membaur dengan kebudayaan barat atau bahkan menghilang. Lalu, di sektor bahasa, kebijakan ini membuat orang melayu cukup pandai berbahasa Inggris.
Baca juga: Mengapa Belanda Disebut Holland? |
Sedangkan, Belanda tidak melakukan itu semua kepada penduduk Indonesia. Peneliti sejarah dari Nanyang Technological University, Christopher Reinhart, kepada CNBC Indonesia, menjelaskan setidaknya ada dua alasan yang membuat Belanda mengambil sikap berbeda terhadap kebudayaan lokal, yang berujung pada rendahnya tingkat kefasihan bahasa Belanda di masyarakat Indonesia lintas generasi.
Pertama, dilihat dari sudut pandang struktur kolonialisme Belanda. Saat itu masyarakat lokal dan orang Belanda berada di struktur berbeda. Orang Belanda di kelas paling atas. Sementara penduduk lokal berada di paling bawah. Dalam perspektif mereka, apabila Belanda menyebarkan kebudayaan, maka sama saja menganggap penduduk lokal dan orang Belanda itu setara secara kultural.
Alhasil, agar struktur itu tetap terjaga, mereka tidak mau membagikan kebudayaan Belanda. Kedua, Belanda selalu melihat dari perspektif eksploitasi ekonomi sebagai ciri negara kolonial. MenurutReinhart, mereka merasa tidak masalah apabila tidak menyebarkan kebudayaan, yang penting tetap melakukan eksploitasi dan menguntungkan secara ekonomi.
"Snouck Hurgronje, salah satu pejabat pemerintah kolonial, pernah mengatakan bahwa 'masalah kebudayaan tidak usah dipaksa. Biarlah bertumbuh dengan sendirinya, tanpa menghilangkan budaya lokal," ujar Reinhart.
Dua sikap Belanda itu berlangsung dari mulai fase eksploitasi tanam paksa dari 1830-1900 dan terus berlanjut saat Belanda menerapkan politik balas budi atau politik etis di tahun 1900. Mereka, lanjutReinhart, selalu fokus pada aspek ekonomi dan tidak mau merusak kebudayaan lokal. Apalagi khususnya setelah politis etis diterapkan mereka semakin paham bahwa menginvasi kebudayaan lain itu tidak baik.
Kendati demikian, bukan berarti penduduk lokal tidak boleh mengadopsi kebudayaan barat. Toh, Belanda juga tidak tertutup soal itu. Faktanya banyak juga kebudayaan barat yang diadopsi penduduk lokal.
Beranjak dari alasan itulah, bahasa lokal, bahasa Melayu dan bahasa Indonesia tumbuh berkembang. Meski begitu, orang Indonesia sebetulnya tidak perlu kecewa apabila tidak bisa berbahasa Belanda seperti orang Malaysia yang fasih berbahasa Inggris. Sebab, bahasa Belanda bukanlah bahasa pergaulan internasional seperti bahasa Inggris.
***
Artikel ini sudah lebih dulu tayang di CNBC Indonesia. Selengkapnya klik di sini.
(fem/fem)
Komentar Terbanyak
Prabowo Mau Borong 50 Boeing 777, Berapa Harga per Unit?
Skandal 'Miss Golf' Gemparkan Thailand, Biksu-biksu Diperas Pakai Video Seks
Prabowo Mau Beli 50 Pesawat Boeing dari AS, Garuda Ngaku Butuh 120 Unit