Sektor pariwisata, yang menjadi tulang punggung ekonomi Pulau Bali, terpukul hebat dan seperti mati suri. Banyak destinasi wisata terkenal di Bali terpaksa menghadapi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk juga Desa Penglipuran.
Desa Penglipuran, yang terletak di Kabupaten Bangli, adalah salah satu desa adat terindah dan terbersih di Bali. Sebelum pandemi Covid-19 melanda, setiap harinya kunjungan wisatawan bisa mencapai 700 orang.
Namun, seperti kebanyakan destinasi wisata lainnya, suasana berubah drastis ketika pandemi melanda. Desa Penglipuran, yang sebelumnya menjadi tujuan wisata populer, tiba-tiba menutup diri dari kunjungan wisatawan sebagai langkah untuk menghindari penyebaran virus Corona.
Sejak bulan Maret 2020, Desa Penglipuran resmi menutup akses kunjungan wisatawan guna menghindari wabah Covid-19. Hal ini memaksa banyak warga Desa Penglipuran untuk kembali ke pekerjaan asal mereka sebagai petani. Ini adalah langkah yang cerdas karena memberikan mata pencaharian selama masa sulit ini.
"Pada saat pandemi, warga Desa Penglipuran masih menekuni profesi sebagai petani. Jadi pada saat pandemi warga balik ke pertanian. Banyak yang kehilangan pekerjaan terutama di pariwisata," kata Wayan Sumiarsa.
Namun, yang membuat Desa Penglipuran benar-benar istimewa adalah cara mereka menjaga keberlangsungan ekonomi dan keberlangsungan pekerjaan warga di sektor pariwisata.
Pemerintah desa adat mengambil langkah berani dengan mengalokasikan dana untuk menjaga kesejahteraan warga yang bekerja di sektor pariwisata. Meskipun dengan sistem yang berbeda, para pekerja masih digaji dan dipekerjakan untuk mencegah terjadinya PHK massal.
"Pada saat itu, yang dilakukan desa adat agar kita tetap survive adalah berani mengalokasikan dana agar desa wisata ini tetap eksis. Bagi warga yang bekerja di pariwisata itu tetap digaji dan dipekerjakan, namun dengan sistem yang berbeda. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi PHK. Desa Adat juga mengalokasikan dana dengan memberikan bantuan sembako," kata Wayan Sumiarsa.
Selain itu, Desa Penglipuran juga memprioritaskan pelestarian budaya dan lingkungan. Pihak pengelola terus mempromosikan dan menjaga nilai-nilai tradisional dalam kehidupan sehari-hari, sambil mengedukasi warga tentang pentingnya menjaga lingkungan.
Setelah tutup selama sekitar tujuh bulan, Oktober 2020 Desa Penglipuran kembali membuka destinasinya dengan tetap mematuhi segala ketentuan protokol kesehatan.
Menurut Wayan Sumiarsa, pasca pandemi Covid-19, Desa Penglipuran mengalami masa kejayaanya. Hal ini terlihat pada meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan per harinya. "Kalau sebelum pandemi kunjungan 700 orang per harinya. Setelah pandemi naik kunjungannya, berkisar antara 2000 orang per harinya," kata Wayan Sumiarsa.
Titik balik ini juga dirasakan oleh Nomi, salah satu warga sekaligus penjual oleh-oleh di Desa Penglipuran.
"Setelah pandemi ini yang beli lumayan banyak, bisa ratusan orang satu harinya. Biasanya satu hari bisa dapat Rp 500 ribu," kata Nomi.
Baca juga: Desa Penglipuran Betul-betul Sebersih Itu |
(fem/fem)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Bandara Kertajati Siap Jadi Aerospace Park, Ekosistem Industri Penerbangan
Foto: Aksi Wulan Guritno Main Jetski di Danau Toba