Kisah Bioskop Pertama di Jogja, Tempat Elite Eropa Nongki di Masa Lalu

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Kisah Bioskop Pertama di Jogja, Tempat Elite Eropa Nongki di Masa Lalu

Femi Diah, Mahendra Lavidavayastama, Jihan Nisrina Khairani - detikTravel
Jumat, 27 Okt 2023 09:35 WIB
Eks Gedung Indra yang kini disulap jadi Teras Malioboro I. Foto diunggah Kamis (26/10/2023).
Eks Gedung Indra yang kini disulap jadi Teras Malioboro I. (Mahendra Lavidavayastama/detikJogja)
Jakarta -

Dulu, layar lebar merupakan barang langka di Indonesia. Maka, bioskop pertama di Yogyakarta ini menjadi tempatnya para elite Eropa mencari hiburan.

Adalah Bioskop Indra yang kini menjadi Teras Malioboro I yang merupakan tempat kongkow elite Eropa itu dan merupakan layar lebar pertama di Kota Yogyakarta.

Menjadi bioskop pertama di Yogyakarta, tempat ini sekaligus menjadi salah satu saksi berkembangnya perfilman Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bioskop Pertama di Yogyakarta

Bioskop Indra didirikan pada 1917 oleh pengusaha Belanda bernama Helland Muller. Dulu Bioskop Indra terbagi menjadi dua bagian, yakni Gedung Al Hambra untuk kalangan elite Eropa dan Tionghoa, lalu Gedung Mascot yang khusus untuk pribumi.

"Ketika listrik masuk ke Jogja pada 1917, ada pengusaha Belanda namanya Helland Muller, membuka bioskop pertama namanya Al Hambra. Itu memang tidak terlepas dari perkembangan kota Jogja karena banyaknya orang-orang Eropa yang tinggal di Jogja," kata dosen Departemen Sejarah UGM, Baha Uddin, saat diwawancarai detikJogja di FIB UGM, Senin (16/10/2023).

ADVERTISEMENT

Baha menyebut pada masa itu para elite Eropa merasa butuh hiburan yang sesuai dengan kelas mereka. Oleh karena itu, dibangunlah Bioskop Indra pada abad ke-20. Bioskop ini pun menjadi ikon rekreasi modern bagi masyarakat Yogyakarta saat itu.

"Jadi mereka (orang-orang Eropa) adalah para administratur. Pada waktu itu ada sekitar 19 pabrik gula di Jogja dan itu banyak sekali karyawannya yang terdiri dari orang Eropa. Mereka membutuhkan hiburan yang modern dan masuk dalam masyarakat kalangan mereka. Karena itu sebenarnya di Jogja banyak sekali Societeit, tempat untuk biliar, tempat untuk dansa, dan sebagainya. Nah salah satunya bioskop itu," ujar Baha.

Lebih lanjut, klasifikasi kelas sosial masih sangat kentara pada masa itu. Hal itu terlihat dari tempat pembelian tiket Bioskop Indra, harga tiket masuk, dan juga fasilitas bioskop itu sendiri.

Gedung Al Hambra kala itu sudah menggunakan kursi empuk, lain halnya dengan gedung Mascot yang masih menggunakan kursi biasa. Tiket masuk untuk Al Hambra sendiri disebut tiga kali lipat lebih mahal dari harga tiket gedung Mascot.

"Kalau orang pribumi beli tiketnya di depan Pasar Beringharjo. Kalau Al Hambra itu beli tiketnya di Hotel Merdeka, yang sekarang jadi Garuda," kata dia.

"Kursinya juga berbeda, semuanya (fasilitas) berbeda. Karena memang kelasnya waktu itu dibedakan kelas sosialnya. Jadi fasilitasnya memang yang pribumi kursi biasa, kalau yang Alhambra itu sudah empuk (kursinya). Harga tiketnya juga berbeda. Yang Al Hambra itu sekitar 3 gulden, kalau yang Mascot itu 1 gulden. Genre (film) sama karena awalnya masih film bisu, film silent," kata Baha.

Sempat Jadi Media Propaganda Jepang

Industri bioskop di Yogyakarta sempat terhenti ketika era kolonial Belanda usai, lalu digantikan dengan Jepang. Film dari luar negeri pun dilarang masuk, serta gedung bioskop diambil alih untuk memutar film-film yang berisi propaganda Jepang.

"Perbioskopan Jogja itu mati pada masa Jepang karena Jepang menghentikan semua impor film dari luar negeri dan diganti dengan film propaganda. Semua gedung bioskop juga diambil alih oleh Jepang untuk menayangkan film-film propaganda Jepang," ujar Baha.

"Jadi praktis tidak ada lagi film-film hiburan, adanya film-film Jepang yang digunakan untuk (menayangkan) kepahlawanan Jepang, bahwa Jepang itu hero-nya Asia," dia menambahkan.

Industri Film Bergeliat Lagi di 1948

Baru di tahun 1948 saat Yogyakarta menjadi Ibu kota Indonesia, industri bioskop di Yogyakarta mulai bergerak kembali. Namun di lain sisi, terdapat kebijakan berupa penggalangan dana revolusi sebesar 25-30% yang diambil dari penetapan harga tiket film bioskop. Dana itu digunakan untuk biaya perang pemerintah Indonesia.

"Baru kemudian (bioskop) bangkit lagi ketika tahun 1948, ketika pada waktu itu Jogja menjadi ibu kota RI. Di situlah kemudian ada lembaga namanya PPBI dan PERFEBI (Peredaran Film dan Eksploitasi Bioskop Indonesia,red). Itu lembaga yang mengimpor film-film barat ke Indonesia. Oleh karena itulah mulai tahun 1948 gedung bioskop tidak murni untuk hiburan karena juga digunakan pemerintah untuk menggalang dana revolusi," kata Baha.

_________________

Baca artikel selengkapnya di detikJogja




(wkn/wkn)

Hide Ads