Perjuangan untuk menunaikan ibadah ke Tanah Suci telah dilakukan oleh jemaah Nusantara sejak dulu. Tak main-main, siksaan berat harus dihadapi dari kolonial Belanda.
Catatan jemaah haji Nusantara terekam di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, utara Jakarta. detikTravel berkunjung ke sana bersama Abang None Jakarta dalam undangan Disparekraf DKI Jakarta.
Pulau seluas 8 hektar itu terlihat rindang dengan reruntuhan bangunan masa lampau. Sisa-sisa bangunan itu adalah karantina haji alias barak jemaah yang berangkat ke Makkah dan pulang haji.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah kolonial Belanda telah memilih Pulau Onrust menjadi lokasi pemberangkatan (embarkasi) sekaligus karantina haji mulai tahun 1911 sampai 1933," tulis catatan sejarah di Pulau Onrust.
![]() |
Tujuan dari karantina ini adalah melatih mental dan jasmani jemaah haji untuk beradaptasi dengan udara laut. Saat itu perjalanan haji diberangkatkan dengan menumpang kapal dagang asing.
Sebenarnya, Belanda punya tujuan lagi, embarkasi di Onrust adalah dalih untuk pendataan dan pengawasan pribumi yang melakukan haji. Penjajah takut kalau-kalau mereka yang pergi haji akan menjadi kaum penentang pemerintah Belanda.
Meski demikian, penampungan jemaah haji sebelum dan sesudah pulang haji memang diperlukan. Penyakit kolera dan pes (kencing tikus) saat itu menjangkiti jemaah haji. Pemerintah Belanda tidak ingin jemaah pulang ke kampung halaman dan membawa penyakit.
![]() |
Sebagai bukti, pada tahun 1927 tercatat sekitar delapan persen jemaah haji terjangkit penyakit kolera. Mereka yang meninggal selama karantina dimakamkan di Pulau Sakit, yang kini berganti nama menjadi Pulau Bidadari.
Selama masa karantina, siksaan mental dan jasmani menjadi awal penderitaan jemaah. Mereka ditempatkan di dalam barak yang berukuran 6 x 30 meter. Tiap barak memiliki atap seng setinggi 1,5 meter dengan ventilasi besar tanpa penutup.
"Tiap barak berisi 100 jemaah," ujar Rosad, pemandu wisata lokal.
Dari foto-foto yang dipamerkan, ruangan itu benar-benar sesak oleh manusia. Di sisi kanan kiri barak jemaah tidur tanpa jarak dengan alas kayu dan tumpukan barang bawaan.
"Yaa, tidurnya dempet-dempetan masa itu," ucapnya.
![]() |
Bayangkan, jemaah yang sudah harus menderita sebelum berlayar selama berbulan-bulan dengan kapal layar. Ini menjadi salah satu alasan mengapa banyak jemaah yang sakit dan meninggal dalam perjalanan haji.
Setelah pulang haji, jemaah juga harus dikarantina selama 5 hari. Kalau ada jemaah yang sakit, kepulangan akan diundur sampai semua sembuh dan dapat pulang bersama-sama ke kampung halaman.
"Barak karantina ini lebih mirip dengan penjara atau kamp konsentrasi daripada sebuah karantina," tulis catatan Pulau Onrust.
(bnl/wsw)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol