Sejarah Prostitusi di Sarkem: Berawal dari Nurhayati, Si Gundik Belanda

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Sejarah Prostitusi di Sarkem: Berawal dari Nurhayati, Si Gundik Belanda

Anandio Januar, Novi Vianita - detikTravel
Senin, 06 Nov 2023 21:05 WIB
Jalan Pasar kembang Yogya
Foto: Jalan Pasar Kembang atau Sarkem di Jogja (Usman Hadi/detikcom)
Yogyakarta -

Kawasan Pasar Kembang atau Sarkem sempat tersohor menjadi tempat prostitusi di Jogja. Sejarahnya, konon berawal dari seorang gundik Belanda bernama Nurhayati.

Hal ini disampaikan Ketua RW 03 Kampung Sosrowijayan Kulon (Gang 3), Kelurahan Sosromenduran, Kemantren Gedongtengan, Jogja, Sarjono. Sarjono mengenang kawasan itu mulai menjadi kawasan prostitusi saat kehadiran perempuan bernama Nurhayati pada tahun 1949 lalu.

Nurhayati belakangan diketahui merupakan gundik orang Belanda dan diminta untuk membawa perempuan lain menjadi gundik seperti dirinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sekitar tahun 1949 saat clash dengan Belanda, ini mbah-mbah kami yang cerita, yang tahu persis. Sejarahnya itu ada perempuan namanya Bu Nurhayati, yang bawa (Bu Nurhayati) itu orang Belanda," ujar Sarjono saat berbincang dengan detikJogja, beberapa waktu lalu.

"Orang Belanda terus datang ke sini, tinggalnya di bladok atau gedong. Ternyata Bu Nurhayati itu dijadikan gundik. Setelah itu, Bu Nurhayati disuruh nyari perempuan lain. Jadinya di situ berkembang seperti itu," sambung dia.

ADVERTISEMENT

Sarjono yang merupakan warga asli kampung itu menyebut Nurhayati meninggal pada 2003 silam. Nuryahati yang tidak memiliki keluarga itu sempat dipindahkan ke Panti Asuhan di kawasan Pakem, Sleman.

"Dulu saya sudah tahu juga, karena saya sudah besar dan sudah jadi pengurus juga. Saya suruh (Bu Nurhayati) tinggal di balai, tapi mereka (warga) nggak mau kalau di balai. Nanti (takut) jadi ini, jadi itu, makanya dititipkan ke panti asuhan dan Bu Nurhayati juga mau," jelasnya.

"Bu Nurhayati itu meninggalnya sekitar tahun 2003, dia nggak punya keluarga atau saudara, kami titipkan di Panti Asuhan Pakem. Namun, sebelumnya dia juga jualan buah keliling di kampung," imbuh Sarjono.

Meninggalnya Nurhayati ternyata membuat praktik prostitusi di Gang 3 Sarkem semakin marak. Sarjono menyebut kini praktik prostitusi itu lebih terorganisasi dibandingkan dulu. Hal ini pun memudahkan pengurus lingkungan untuk melakukan pengecekan kesehatan dan penyuluhan rutin.

"Setelah Bu Nurhayati nggak ada, mulai banyak yang datang ke sini. Dulu kan nggak terorganisasi, kalau sekarang kan terorganisasi. Setiap bulan itu ada suntikan dari puskesmas. Setiap tiga bulan sekali kita ambil sampel darah untuk mengurangi siapa yang terkena HIV/AIDS. Misalnya ada yang kena, nanti kita cari orang atau relawan untuk memberikan pengarahan kepada mbak-mbak itu. Jadi kita nggak diam saja, ada paguyuban ini jadi lebih tertata," ucapnya.

Diduga Karena Saling Ajak

Sarjono menduga bertambahnya jumlah pekerja seks di gang 3 bisa terjadi karena saling ajak. Dia menyebut para pekerja seks komersial di Sarkem ini mayoritas berasal dari warga luar Jogja dengan rata-rata berusia 19 tahun ke atas.

"Mungkin mereka saling ajak. Biasanya orang tuanya pada tahu kalau mereka kerjanya di toko," ujar dia.

Awal Mula Dikenal Jadi Sarkem

Kawasan Sarkem ini semula merupakan tempat jualan bunga. Para pedagang bunga ini berjualan di jalur antara Titik Nol Km dan Tugu.

"Sebetulnya Pasar Kembang itu dulunya pasar untuk jual kembang. Jual bunga untuk upacara, ziarah, kembang mawar, melati, bunga tabur. Itu berada di dekat jalur antara titik nol sekarang dengan tugu tapi itu di masa lalu," ujar Budayawan Jogja, Ahmad Charris Zubair.

Sarkem YogyakartaSarkem Yogyakarta Foto: albimahennaro/d'Traveler

Charris menuturkan kawasan Sarkem sempat berubah nama menjadi Balokan di pertengahan abad ke-19. Hal ini karena Belanda membangun stasiun kereta api dan banyak kayu-kayu untuk rel di depan stasiun.

"Di pertengahan abad ke-19, Belanda membangun stasiun kereta api, kemudian kayu-kayu untuk rel ditaruh di situ makanya dulu disebut Balokan. Karena itu, pasarnya pindah lebih ke timur yang sekarang menjadi Jalan Abu Bakar Ali," ucapnya.

Seiring berkembangnya tahun, kawasan itu masih lekat dikenal dengan sebutan Sarkem. Nama ini pun makin populer karena banyaknya perempuan yang menjajakan diri.

"Orang bisa mengenal itu Sarkem atau Pasar Kembang, kemudian Balokan. Ketika stasiun berdiri, ada losmen dan penginapan, akhirnya salah satu gang dari tempat itu konon jadi lokalisasi pelacuran," terang Charris.

"Banyak yang kemudian perempuan jadi jual diri, tapi tidak semuanya. Akhirnya orang mengenalnya Sarkem itu secara denotatif jual kembang, namun sudah tidak lagi ada, secara konotatif jual kembang itu ya perempuan itu," pungkasnya.


-----

Artikel ini telah naik di detikJogja.




(wsw/wsw)

Hide Ads