Semua aspek kehidupan membutuhkan air, termasuk juga pariwisata. Labuan Bajo pun ingin mewujudkan mimpi sebagai kota yang ramah air.
Guna mendorong pengembangan lingkungan perkotaan yang berkelanjutan dan menawarkan gagasan Water-Sensitive City (WSC) atau Kota Ramah Air (KRA), Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) berkolaborasi dengan IAP (Ikatan Ahli Perencanaan) menggelar seminar dengan tema Mewujudkan Kota Ramah Air: Tantangan dan Peluang Perencanaan Infrastruktur Wilayah.
Tema ini diangkat mengingat tantangan pengelolaan air di perkotaan di masa depan semakin besar. Ini sejalan dengan prakiraan proporsi populasi dunia tinggal di wilayah perkotaan akan meningkat menjadi 68% pada tahun 2050 (United Nation, 2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Menteri PUPR, Basuki Hadimoeljono, salah satu konsep solutif pengelolaan air perkotaan yang disarankan para ahli adalah Water Sensitive City (WSC) yang melibatkan integrasi desain kota, infrastruktur, dan kebijakan untuk menciptakan lingkungan perkotaan yang responsif terhadap perubahan iklim, melindungi sumber daya air, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
"Water sensitive city tidak hanya tentang pengendalian banjir dan penyediaan air bersih, tetapi juga tentang peningkatan kenyamanan. Kita mengenal namanya liveable city, sustainable city, lovable city, semuanya pasti dasarnya adalah air. Kalau orang mau hidup nyaman, pasti harus ada air," ucap Basuki saat membuka seminar tersebut, Senin (11/12).
Labuan Bajo Ingin Jadi Kota Ramah Air
Sebagai destinasi wisata yang kerap dikunjungi wisatawan baik dari luar maupun dalam negeri, Labuan Bajo pun membeberkan pengelolaan kawasan pariwisata ramah air di DPSP Labuan Bajo Flores.
"Labuan Bajo adalah bagian dari Cagar Biosfer Komodo dan Situs Warisan Dunia UNESCO. Hal ini mendorong pertumbuhan pariwisata dan kebutuhan akan air juga ikut meningkat. Adapun rekomendasi pengelolaan air Labuan Bajo yang kami tawarkan adalah pemetaan dan konservasi sumber air tanah dan permukaan, serta perencanaan berbasis daya dukung daya tampung kawasan," terang Shana Fatina, Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF).
Shana menambahkan, audit air secara berkala dan penerapan efisiensi, serta Kampanye Ramah Air Labuan Bajo dan pariwisata berkelanjutan juga dibutuhkan untuk mengelola manajemen air di Labuan Bajo.
Saat ini, BPOLBF tengah membangun sebuah kawasan wisata di tengah kota Labuan Bajo bernama Parapuar dan berkomitmen untuk membangun kawasan tersebut sebagai kawasan ramah air. Caranya dengan tidak memanfaatkan air langsung dari kawasan tersebut, namun menggunakan sistem perpipaan dari kota Labuan Bajo.
"Sebagai informasi, kami di BPOLBF diberi mandat untuk membangun kawasan pariwisata di atas lahan seluas 400 ha di Hutan Produksi Nggorang Bowosie. Berdasar hasil studi dan kajian yang telah kami lakukan, kami tidak memanfaatkan air menggunakan sumur bor, tetapi dengan SPAM Wae Mese melalui perpipaan SPAM Perkotaan, dimana di kawasan ini hanya 17% yang dibangun menjadi bangunan fisik, sedangkan sisanya akan dihutankan kembali," pungkas Shana.
(wsw/wsw)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!