Sejarah santapan daging anjing di Solo berjalan sejak lama. Kuliner ekstrem itu dibarengi dan seperti padu padan yang pas dengan kebiasaan mabuk-mabukan.
Ahli sejarah Heri Priyatmoko dalam tulisan yang diunggah di repositori Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan dikutip Rabu (31/1/2024) menyebut kilas balik perkembangan daging anjing beserta industri minuman beralkohol di Solo.
Meski sering dijajakan di warung berlabel "sate jamu", makanan tongseng anjing tidak terbuat dari rempah dan tanaman obat keluarga laiknya jamu. Kuliner itu berbahan dasar daging anjing -yang dalam bahasa Jawa disebut asu atau segawon atau dipanggil gukguk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para penggemarnya kerap menyebutnya sengsu, kependekan dari tongseng asu, di warung-warung dijajakan dengan rica-rica gukguk, RR, atau RW. Santapan itu tidak hilang digilas zaman lantaran konsumennya tetap ada.
Demi melunasi keinginan lidah dan perut pembeli, pedagang memperoleh anjing dari daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah (Purworejo, Wonosobo, Temanggung). Terbaru, anjing-anjing yang diamankan oleh kepolisian di Semarang berasal dari Jawa Barat.
Penangkap anjing liar yang seram di Solo
Dalam sejarah penangkapan anjing di Solo, merujuk keterangan Iskandar Hadrianto (2016), seorang pensiunan asli Solo, dikenal seutas nama: Jorangas. Dialah petugas penangkap anjing liar dibantu penarik gerobak berteralis besi.
Jorangas berpenampilan seram. Bertelanjang dada, berkumis tebal melintang, dan membawa cambuk yang dilecutkan saat berjalan di muka gerobak.
Tangan kirinya menenteng kolo, yaitu kayu panjang dengan kaitan dari kulit atau jala untuk menjerat leher anjing.
Di Solo terdeteksi puluhan warung sate jamu yang buka pagi, sore, dan malam yang menyediakan aneka hasil olahan daging anjing. Di sana ada sate, tongseng, rica-rica, grabyasan (goreng), dan -paling belakangan- nasi goreng.
Tak sedikit yang menyukai rica-rica, kendati berbahan tulang-belulang berbalut sedikit daging dengan bumbu pedas disajikan hangat. Sedangkan menu grabyasan dikemas dalam bungkusan mungil yang berisi beberapa potong daging goreng berukuran kecil.
Awal mula penjual daging anjing
Hingga akhir 1980an, masih dijumpai beberapa pedagang berkeliling di perkampungan menawarkan grabayasan. Bakul warung sate jamu rata-rata berasal dari daerah Kampung Lor, dan Baki Sukoharjo.
Dunia per-sate-an jamu tahun 1940an menyimpan nama seorang bakul yang cukup melegenda, yakni Mitro "jologug" (menjala anjing). Menurut pengakuan cucunya, pedagang ini kebetulan otak bisnisnya "main" dan tergerak menekuni wirausaha jualan rica-rica asu.
Usaha kuliner "ekstrem" ini dilanjutkan anak-cucunya, bahkan pembantu warungnya. Misalnya, warung Pak Jo di pertigaan Gilingan samping pool bus Rosalia Indah, dan warung Pak Gundul (rewang atau pembantu Mitro) di barat terowongan Gilingan.
Merujuk sejarawan Anthony Reid (2011), anjing menjadi santapan warga di beberapa tempat. Anjing lebih dimaknai sebagai "binatang tak bertuan" di Asia Tenggara, bukan "kawan" manusia.
Terlepas dari popularitas daging babi dan anjing, semangat pantang bagi orang Islam dalam menghindari daging babi dan anjing tampak meyakinkan publik non-Islam bahwa daging ini mengandung sesuatu yang buruk.
Pantang makan daging babi dan anjing ialah isyarat pertama yang paling kentara perihal kepatuhan dalam ajaran Islam.
Kebiasaaan mabuk di Solo
Sudah menjadi hukum alam bahwa suatu makanan berhasil lestari hingga puluhan tahun, bahkan berabad-abad karena punya konsumen yang jelas dan regenerasi berjalan lancar laiknya bakul sate jamu menurunkan kedigdayaan olah-olah ke anak-cucunya.
Menu masakan tersebut laris berkat dukungan sebagian masyarakat abangan dan non-muslim.
Kebiasaan itu ditambah dengan faktor suburnya aktivitas mabuk-mabukan yang dipadu dengan tambul(menyantap ringan) daging dan tulang anjing yang sudah digarap di pawon.
Kebiasaan mabuk memang telah lama mewabah di Solo, dan ini sudah disuratkan oleh jurnalis Bromartani bertarik 25 Agustus 1881.
"Di Surakarta ini bakal ditempati orang Tionghoa yang mengolah arak. Kabarnya, (ia) sudah memeroleh izin dari pemegang wewenang kerajaan, lokasinya di dekat Kampung Gemblekan".
"Malahan, Sabtu kemarin menggelar keramaian tayuban untuk menyambut pembukaan produksi arak tersebut".
Fakta itu memantulkan suatu kondisi bahwa Solo merupakan "lahan basah" berbisnis arak baik untuk kepentingan pengobatan maupun minuman komersial, sampai orang Tionghoa berani mengeluarkan kocek dan berpesta.
Tiga dekade berikutnya, peredaran arak menggila. Wartawan Darmo Kondo melaporkan temuannya di lapangan tentang "arak gelap".
Di hari Kamis, polisi Jokowesti menangkap dua wanita membawa arak gelap di Kampung Coyudan. Segera saja kedua orang tersebut digelandang di Kantor Polisi Pasar Kliwon.
Diakui, meski pembuatan arak berbahan tape ketan itu untuk kegiatan (berfaedah) positif, namun yang disesalkan jurnalis ialah mencuatnya ketidakadilan ekonomi di pasar menimpa orang pribumi.
Orang Jawa yang memproduksi arak malah tidak boleh menjualnya, sedangkan komunitas asing atau orang Eropa boleh berniaga arak. Orang Eropa memegang monopoli arak karena bisnis barang ini kelewat menggiurkan.
Yusana Sasanti Dadtun (2016) menyebut bahwa semula, arak dipakai sebagai obat lelah dan penghangat badan. Namun, lambat laun ia digunakan pula untuk kesenangan dan konsumsi secara rutin.
Kesehatan masyarakat tergerogoti dan menyebabkan lingkungan tidak sehat ialah risiko yang diunduh. Memahami situasi gawat ini, pemerintah menyalakan alarm peringatan bahwa jika saban hari berkarib dengan arak, maka bersiaplah organ tubuhmu rusak.
Alkohol membuat kulit ari sebelah dalam yang terletak di pencernaan akan rusak, anggota badan lumpuh, dan daya ingat berkurang. Lebih seram lagi, pankreas dan saluran cerna tak berfungsi dengan baik, mengakibatkan kanker, nyeri pada otot, dan sumsum tulang rusak sehingga peredaran darah terhambat.
Tak hanya itu, minum arak secara berlebihan berpotensi mengundang penyakit pada sistem pernafasan, hipertensi, serta gangguan pada susunan saraf pusat.
Budaya omben-omben (mabuk minuman keras) semerbak di Solo berpuluh-puluh tahun. Pendukung budaya tersebut tidak sedikit pula.
Hingga melahirkan terminologi lokal yang tiada ditemukan di wilayah lain: "dem-deman". Istilah khas ini ternyata telah tercatat dalam Bromartani edisi 28 Juni 1883.
"Kala kaping 6 Juni. Wanci jam 12 dalu. Pun brama wijaya tiyang ing Kampung Resaniten ajal jalaran mentas sami dem-deman angunjuk jenewer".
Mabuk-mabukan sudah mendarah daging dalam masyarakat, dan olahan daging anjing membersamainya. Maklum bila Solo, bekas kota kerajaan ini, ditempeli predikat sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta dalam urusan menyantap daging anjing.
Baca juga: Menyoal Wisata Kuliner Daging Anjing di Solo |
(msl/fem)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol