Ratusan bandara di Amerika Serikat akan dipasang fasilitas face recognition untuk mempercepat check-in. Namun, gelombang protes muncul.
Teknologi face recognition banyak bermunculan di berbagai transportasi publik. Beberapa bandara hingga stasiun di banyak negara mulai mengadopsi teknologi tersebut. Namun, ancaman isu privasi hingga keamanan data masih mengintai, hal itu membuat gelombang protes bermunculan.
Melansir New York Post, Senin (5/2/2024), khususnya yang terjadi di AS, Administrasi Keamanan Transportasi AS (TSA) memicu kekhawatiran privasi setelah mengumumkan rencana meluncurkan face recognition di 400 bandara AS dalam waktu dekat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"TSA sedang dalam tahap awal penerapan kemampuan pengenalan wajah ke pos pemeriksaan keamanan bandara," kata seorang juru bicara.
Mereka menjelaskan bahwa teknologi ini bertujuan untuk meningkatkan dan mempercepat proses pemeriksaan penumpang.
Teknologinya disebut mesin CAT-2, sistem identifikasi otomatis ini menggabungkan teknologi pengenalan wajah untuk mengambil gambar real-time dari para pelancong. Nantinya, mesin ini membandingkan data biometrik dengan ID foto penumpang untuk memverifikasi kecocokan.
Menurut juru bicara tersebut, penggunaan SIM seluler juga akan dimungkinkan, sehingga disebut dapat meningkatkan pengalaman keamanan.
Saat ini, TSA telah memasang 600 unit CAT-2 di sekitar 50 bandara di AS dan akan mengembangkannya ke 400 bandara lainnya. Namun, mungkin perlu beberapa waktu untuk menerapkan hal ini.
"Mungkin diperlukan waktu hingga tahun 2030 atau 2040 sebelum kami dapat beroperasi penuh dengan teknologi ini," ujar juru bicara tersebut, yang menolak menyebutkan nama bandara tertentu karena alasan keamanan.
Di sisi lain, gelombang protes menyertai rencana ini. Setelah penerapan mesin di beberapa bandara di AS, para anggota parlemen mengungkapkan kekhawatiran bahwa mesin tersebut dapat menimbulkan masalah besar terkait privasi.
"Program TSA adalah awal dari pengawasan nasional yang menyeluruh," kata Senator Oregon Jeff Merkley.
"Tidak ada yang bisa lebih merusak nilai-nilai privasi dan kebebasan nasional kita. Tidak ada pemerintah yang boleh dipercaya dengan kekuatan ini," sambungnya.
Merkley adalah bagian dari koalisi senator, yang meliputi John Kennedy (R-LA), Edward J. Markey (D-MA), Roger Marshall (R-KS), Bernie Sanders (I-VT), dan Elizabeth Warren (D-MA), yang berkolaborasi dalam Undang-Undang Perlindungan Privasi Wisatawan.
"Undang-undang baru ini akan memberdayakan para pelancong di Amerika Serikat dengan kontrol atas privasi mereka dengan melarang penggunaan teknologi pengenalan wajah dan pengumpulan data biometrik wajah oleh Transportation Security Administration (TSA) di bandara-bandara Amerika Serikat," demikian tulis di situs tersebut.
Namun, TSA meyakinkan publik bahwa pemeriksaan identitas otomatis tidak wajib, dan data tersebut tidak akan digunakan untuk tujuan lain selain untuk menyaring penumpang.
"Teknologi ini sepenuhnya bersifat sukarela," kata juru bicara tersebut kepada Post.
"Penumpang dapat memilih untuk tidak ikut serta tanpa kehilangan tempat dalam antrean atau penundaan dalam melewati pemeriksaan keamanan," sambungnya.
Face Recognition di Indonesia
Sedangkan penerapan teknologi serupa juga telah terjadi di Indonesia. Terdapat bandara hingga stasiun kereta api yang telah menerapkannya.
Untuk Bandara Soekarno Hatta misalnya, teknologi itu telah diterapkan sejak Oktober 2023 yang terdapat di terminal 3 kedatangan.
Di sisi lain, teknologi serupa telah diterapkan juga di beberapa stasiun kereta api. Mengutip detikNews, Jumat (2/2/2024), ada 11 stasiun kereta yakni:
Stasiun Bandung
Stasiun Yogyakarta
Stasiun Surabaya Gubeng
Stasiun Malang
Stasiun Solo Balapan
Stasiun Gambir
Stasiun Cirebon
Stasiun Surabaya Pasar Turi
Stasiun Semarang Tawang
Stasiun Purwokerto
Stasiun Madiun
Kendati telah ada di beberapa lokasi, tetapi kekhawatiran dan masalah dalam praktiknya juga turut terjadi. Seperti pada November 2023, penumpang mengeluhkan kebijakan face recognition di Stasiun Bandung yang justru menimbulkan antrian dan ancaman pemaksaan data.
"Yang gamau pake face recognition hanya boleh masuk ke area boarding 10 menit sebelum kereta berangkat. Lawak banget @KAI121. Mau maksa ngollect data warga gini amat," tulis akun @fc******ar pada Minggu (19/11/2023).
Menanggapi hal tersebut, pihak KAI meluruskan kesalahan informasi dari petugasnya.
"Dapat kami luruskan bahwa Penumpang yang ingin boarding secara manual, tetap diperbolehkan masuk ke dalam stasiun apabila sudah memasuki 1 jam sebelum keberangkatan. KAI tidak memaksa penumpang untuk mendaftarkan face recognition, karena hal tersebut tidak bersifat wajib, sehingga penumpang dapat memilih prosedur boarding sesuai dengan keinginan dan kenyamanannya," tulis pernyataan resmi @KAI121, Minggu (19/11/2023).
(wkn/wsw)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol
Tragedi Juliana di Rinjani, Pakar Brasil Soroti Lambatnya Proses Penyelamatan