Grebeg Sudiro, Wujud Akulturasi Budaya Tionghoa-Jawa di Solo

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Grebeg Sudiro, Wujud Akulturasi Budaya Tionghoa-Jawa di Solo

Ulvia Nur Azizah - detikTravel
Jumat, 09 Feb 2024 18:08 WIB
Peserta menampilkan kreasi seni budaya pada kirab tradisi Grebeg Sudiro menjelang Imlek di Solo, Jawa Tengah, Minggu (4/2/2024). Tradisi yang digelar rutin setiap tahun tersebut sebagai simbol akulturasi masyarakat Jawa dan warga etnis Tionghoa di Solo yang hidup rukun sekaligus untuk mendorong meningkatnya kunjungan pariwisata. ANTARAFOTO/Maulana Surya/aww.
Foto: Grebeg Sudiro di Solo (Antara Foto/Maulana Surya)
Solo -

Tahun Baru Imlek dirayakan secara meriah di Solo. Bahkan, ada acara Grebeg Sudiro yang merupakan wujud akulturasi budaya Tionghoa-Jawa di sana. Seperti apa?

Setiap tahun, perayaan Imlek selalu dinantikan oleh wisatawan, serta warga Solo dan sekitarnya. Apalagi, saat penyelenggaraan event Grebek Sudiro.

Grebek Sudiro berlangsung dari tanggal 27 Januari hingga 22 Februari 2024. Rangkaian acaranya meliputi Umbul Mantran, Bazar, Perahu Wisata, Karnaval Budaya, dan ditutup dengan Heritage & Harmony Music.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apa Itu Grebeg Sudiro?

Mengutip laman resmi Pemerintah Kota Solo, 'Grebeg' dalam tradisi Jawa, merujuk pada perayaan rutin dan ucapan syukur untuk memperingati peristiwa penting. Sementara 'Sudiro' diambil dari Kampung Sudiroprajan di sekitar Pasar Gede, Solo.

Tradisi ini awalnya untuk memperingati ulang tahun Pasar Gede Hardjonagoro yang digagas oleh warga etnis Tionghoa dan Jawa di Kampung Sudiroprajan.

ADVERTISEMENT

Dengan semangat kebhinnekaan, Pemerintah Kota Solo mendukung Grebeg Sudiro sebagai perayaan tahunan. Grebeg Sudiro melibatkan dua kegiatan utama, yakni sedekah bumi dan kirab budaya.

Sedekah bumi mengekspresikan rasa syukur pedagang Pasar Gede dan masyarakat sekitar. Sementara kirab budaya melibatkan kebersamaan dua etnis, Tionghoa dan Jawa, dengan menampilkan tarian khas Jawa, serta pertunjukan Liong dan Barongsai.

Sejarah Grebeg Sudiro

Dalam artikel berjudul 'Tradisi Grebeg Sudiro di Sudiroprajan' karya Tissania Clarasati Adriana yang dimuat Jurnal Candi Vol. 5 (2013), Grebeg Sudiro merupakan tradisi pembauran budaya Jawa dan Tionghoa yang lahir pada tahun 2007 di Sudiroprajan, Solo.

Inisiatornya antara lain Oei Bengki, Sarjono Lelono Putro, dan Kamajaya. Persetujuan dari pihak kelurahan, budayawan, tokoh masyarakat, dan LSM memungkinkan pelaksanaan tradisi ini.

Meski baru berlangsung selama beberapa tahun, Grebeg Sudiro mencerminkan semangat kerukunan antar etnis. Tradisi ini muncul dari keinginan para pendiri untuk mengangkat nama Sudiroprajan dan terinspirasi oleh tradisi Kampung Sewu.

Kelurahan Sudiroprajan sendiri dikenal sebagai Kampung Pecinan, karena dihuni banyak warga etnis Tionghoa. Wilayah ini mencakup Kampung Kepanjen, Balong, Mijen, Ngampil, Samaan, Ketandan, Limolasan, dan Balong Lengkong.

Grebeg Sudiro bertujuan menyatukan warga Tionghoa dan Jawa di Sudiroprajan, sebuah daerah yang sudah lama dikenal harmonis dengan perkawinan campur dan interaksi budaya yang erat.

Melalui kreativitas warga Sudiroprajan dalam membuat kerajinan dan menarik perhatian dengan manik-manik, lampion, dan makanan khas Tionghoa, Grebeg Sudiro berhasil memperkenalkan kelurahan Sudiroprajan kepada wisatawan dan juga masyarakat luas.

Perekonomian warga pun jadi meningkat. Acara ini jadi semakin menegaskan adanya persatuan dalam perbedaan, sehingga bisa menyejahterakan warga.


------

Artikel ini telah naik di detikJateng.




(wsw/wsw)

Hide Ads