Mengenal Jilbab Lokal ala Perempuan Bima yang Sudah Ada Sejak Abad 17

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Mengenal Jilbab Lokal ala Perempuan Bima yang Sudah Ada Sejak Abad 17

Rafiin - detikTravel
Selasa, 20 Feb 2024 22:10 WIB
Rimpu, pakaian adat dari Bima
Foto: Rimpu, jilbab ala perempuan Bima (dok. Istimewa)
Bima -

Tahukah kamu, perempuan Bima sudah sejak lama mengenal jilbab. Namanya Rimpu. Konon, Rimpu sudah ada sejak abad ke-17. Bagaimana kisahnya?

Rimpu tidak asing bagi perempuan Suku Mbojo. Mbojo adalah salah satu suku yang mendiami Pulau Sumbawa, khususnya di wilayah Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Peneliti Budaya dan Sejarah Bima, Fahrurizki, mengatakan rimpu mulai dipakai oleh perempuan yang mendiami kampung Melayu (sekarang Kelurahan Melayu, Kecamatan Asakota, Kota Bima) sejak abad ke-17 atau sekitar tahun 1640.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Penggunaan rimpu menandai pengaruh Islam di Bima. Saat itu, Bima berstatus kesultanan di bawah pemerintahan Sultan Bima ke-II bernama Abil Khaer Sirajuddin yang memerintah tahun 1640-1682 Masehi," ucapnya.

Fahrurizki mengatakan, masuknya agama dan pengaruh Islam otomatis mengubah kebiasaan masyarakat Bima. Salah satunya tata cara berbusana bagi perempuan. Sebab, dalam Islam, perempuan yang sudah dewasa atau akil balig diwajibkan untuk menutup auratnya.

ADVERTISEMENT

"Saat itu, perempuan Bima mengenakan rimpu belum merata dan tidak setiap hari. Hanya saat keluar rumah, seperti ke pasar dan ke rumah tetangga, hingga hari raya besar Islam," katanya.

Menurut Fahrurizki, rimpu mulai populer dikenakan perempuan Bima pada era tahun 1920-an. Itupun hanya dari kalangan tertentu, seperti anak ulama dan kiai.

Sementara warga biasa masih mengenakan kebaya. Tapi Rimpu secara luas dipakai baru 20 tahun kemudian, tepatnya sekitar tahun 1940-an sampai sekarang.

"Populernya rimpu dan dipakai secara luas mulai abad ke-20 hingga sekarang," jelas Fahrurizki.

Rimpu, pakaian adat dari BimaRimpu, pakaian adat dari Bima Foto: (dok. Istimewa)

Meski begitu, Fahrurizki menyoroti soal penamaan hingga proses pemakaian rimpu saat ini. Sebab dalam Naskah Bima, nama asli rimpu adalah kerudung sarung. Sementara rimpu adalah tata cara pemakaian kerudung sarung itu sendiri.

"Pemakaian rimpu saat ini juga masih di luar kaidah, salah satunya memakai peniti dan keliru mengikat. Namun hal itu tidaklah masalah karena hanya sifatnya seremonial," terangnya.

Selain itu, tidak ada istilah atau klasifikasi penggunaan rimpu seperti saat ini. Misalnya perempuan menggunakan rimpu berdasarkan status dan usia.

Sebab, dalam Naskah Bima, perempuan yang menggunakan rimpu tetap ditutup wajahnya, yang terlihat hanya bagian mata.

"Dalam Naskah Bima rimpu aslinya menggunakan sarung Bali saja. Kalau sekarang sarung dengan berbagai motif dan warna yang dikenal tembe (sarung) nggoli," ujarnya.

Fahrurizki meminta pemerintah daerah agar lebih memperbanyak diskusi dan kajian. Upaya itu sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat terutama kaum muda-mudi yang masih awam dengan rimpu.

Apalagi rimpu sudah didaftarkan sebagai warisan budaya tak benda ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sejak tahun 2015 silam.

"Harus diedukasi terus, jangan sampai keliru nanti. Selain identitas budaya Bima, rimpu adalah simbol kehormatan Suku Mbojo," imbuh Fahrurizki.

Di zaman sekarang, rimpu diabadikan menjadi Festival Rimpu yang tercatat sebagai 110 event budaya yang masuk dalam daftar Karisma Event Nusantara (KEN) 2024 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).


-------

Artikel ini telah naik di detikBali.




(wsw/wsw)

Hide Ads