Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Malang Agoes Basoeki menolak tarif royalti musik baru yang dianggap memberatkan. Mereka meminta kaji ulang dan mengusulkan sistem pembayaran berbasis teknologi.
Dia mengatakan bahwa pengenaan royalti musik masih menjadi polemik di kalangan pelaku usaha. Mereka merasa terbebani oleh aturan yang dinilai belum sepenuhnya berpihak kepada kondisi riil di masing-masing daerah.
Persoalan itu muncul setelah diterbitkannya PP Nomor 56 Tahun 2021 dan SK Menteri Hukum dan HAM yang menetapkan skema tarif baru, terutama untuk sektor restoran, kafe, pub, bar, hingga klub malam.
Agus bilang dari daftar yang diterima, restoran dikenakan Rp 120 ribu per kursi per tahun. Sementara itu, pub dan bistro dikenai Rp 360 ribu per meter persegi. Kemudian, diskotek serta klub malam Rp 430 ribu per meter persegi per tahun.
"Ini dinilai terlalu tinggi dan memberatkan pelaku usaha," ujar Agoes dilansir detikjatim, Kamis (28/8/2025).
Baca juga: Hotel Agas Solo Tutup, Dijual Rp 120 Miliar |
Agoes mengatakan sebagian restoran telah melaporkan mereka sudah membayar royalti, namun tidak sedikit pelaku usaha yang belum melakukan pembayaran.
"Ada yang melapor ke saya, beberapa resto sudah membayarkan royalti. Sebagian belum, karena merasa angka itu terlalu berat bagi mereka," kata Agoes.
Meski demikian, Agoes menegaskan bahwa pelaku usaha tidak menolak pembayaran royalti. Terlebih aturan tersebut telah tertulis di aturan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royati Hak Cipta Lagu dan/atau musik.
Namun, mereka berharap agar penetapan tarif dilakukan secara lebih bijak dan adil, terutama bagi pelaku usaha kecil hingga menengah.
"Kami tidak keberatan membayar, tapi jangan memberatkan. Apalagi kami juga sudah menanggung banyak beban operasional, termasuk membayar musisi untuk tampil secara langsung dan pajak lainnya," kata dia.
Selain meminta peninjauan tarif, PHRI Kota Malang juga mengusulkan agar sistem pembayaran royalti bisa berbasis teknologi.
Menurut Agoes, pemanfaatan teknologi dapat memberikan solusi agar penggunaan musik untuk kepentingan komersial dapat terdeteksi secara otomatis.
"Misalnya, lagu yang diputar bisa dilacak atau diunduh secara berbayar melalui sistem digital. Kalau ini bisa diterapkan, kami yakin pelaku usaha akan patuh," kata dia.
Agoes juga berharap ada aturan baru terkait royalti dan pemerintah dapat segera melakukan sosialisasi yang menyeluruh hingga ke daerah.
PHRI Kota Malang pun menyatakan siap berkoordinasi dan menyampaikan informasi kepada anggotanya.
"Terpenting adalah sosialisasi, jika aturannya sudah jadi ke daerah termasuk Kota Malang kami siap berkoordinasi dengan teman-teman tergabung dalam PHRI," kata dia.
***
Selengkapnya klik di sini.
Simak Video "Video Ariel Nidji soal Polemik Royalti: Saatnya Bersatu untuk Berbenah"
(fem/fem)