Bali Terluka Akibat Pariwisata Ugal-ugalan, Cukuplah Banjir sebagai Peringatan

Femi Diah - detikTravel
Selasa, 23 Sep 2025 17:30 WIB
Wisata Bali (Nyoman Hendra Wibowo/Antara)
Jakarta -

Bali kembali dilanda banjir. Kali ini, bukan lagi bencana alam biasa, namun balasan dari alam yang dilukai, ruang hijau yang digusur menjadi hotel, vila, beach club, hingga kolam renang privat. Pembangunan pariwisata terlalu rakus?

Banjir itu merendam Bali pada 10 September 2025 setelah hujan ekstrem mengguyur Pulau Dewata selama 24 beruntun. Bali pun lumpuh.

Curah hujan pada 9-10 September itu memang cukup tinggi. Dilaporkan curah hujan pada hari itu di atas 150 mm, bahkan tercatat mencapai 385 mm yang setara dengan curah hujan dua bulan di Bali.

Aktivitas warga di enam kabupaten/kota di Bali lumpuh. Wisatawan terjebak di hotel. Akses ke banyak destinasi turis putus. Restoran dan kafe terendam.

Banjir itu menelan nyawa 18 orang, juga berdampak kepada ratusan orang. Sangat mengerikan saat bukan lagi nama yang disebut, melainkan statistik.

Yang menyakitkan tidak ada permintaan maaf dari pemerintah juga dari dewan usai banjir besar di Pulau Dewata itu. Bahkan, orang nomor satu Bali Gubernur Wayan Koster sempat menolak banjir diakibatkan alih fungsi lahan.

Gubernur Bali Wayan Koster. (Rizki Setyo/detikBali)

Pada 12 September, Koster menyampaikan pendapat bahwa alih fungsi lahan lebih banyak terjadi di wilayah Badung dan Gianyar, bukan di Denpasar, kawasan yang terdampak banjir paling parah.

"Nggak juga, alih fungsi lahan kan di Badung, Gianyar. Di Badung (alih fungsi lahan) di daerah-daerah Kuta Utara. Ini (Denpasar) kan jauh," kata Koster saat ditemui di lokasi pembongkaran ruko terdampak banjir di Jalan Sulawesi, Denpasar, dilansir detikbali, Jumat (12/9).

Padahal, obral izin pembangunan di Bali sudah berulang kali diberitakan. Perubahan hutan dan sawah menjadi bangunan beton berkali-kali diungkapkan. Sungai dan sempadan disulap jadi lahan komersial bukan sekali dua kali diprotes.

Warga negara asing (WNA) membersihkan lumpur dan sampah akibat bencana banjir di kawasan Sungai Badung, Denpasar, Bali, Minggu (14/9/2025). (Nyoman Hendra Wibowo/Antara)

Mestinya mudah mendeteksi lahan-lahan yang berubah fungsi itu di Bali. Tidak mungkin Pemprov Bali tdiak memiliki peta daerah dan rencana tata kota. Selain itu, Bali secara tradisional dibangun merujuk kepada Tri Hita Karana. Situs resmi Dinas Kebudayaan Buleleng secara lugas menyebutkan bahwa Tri Hita Karana adalah filosofi dan kearifan lokal masyarakat Bali yang diyakini sebagai kuncii kesejahteraan warga Bali.

Dan kunci itu digunakan untuk menciptakan keseimbangan dan keharmonisan dalam tiga aspek utama kehidupan, yaitu hubungan dengan Tuhan (Parhyangan), hubungan dengan sesama manusia (Pawongan), dan hubungan dengan alam semesta (Palemahan).

Konsep itu menjadi landasan spiritual dan etika bagi masyarakat Bali dalam menjalani kehidupan sehari-hari, serta menjadi panduan dalam pembangunan yang berkelanjutan dan lestari.

Ya, Bali sudah mengenal keberlanjutan jauh sebelum muncul secara formal dan teridentifikasi sebagai istilah resmi pada 11 November 1966 melalui Konferensi Daerah Badan Perjuangan Umat Hindu Bali.

Garis waktu itu lebih dulu ketimbang definisi pembangunan berkelanjutan yang diusung dalam Brutland Report 1987. Forum itu merumuskan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya memenuhi kebutuhan kini tanpa mengorbankan generasi mendatang.

Tri Hita Karana juga diundangkan lebih dulu daripada Konferensi Stockholm yang merupakan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia yang diadakan di Stockholm, Swedia, pada 1972, dan menjadi konferensi global pertama yang mengangkat isu lingkungan hidup secara internasional.

Konsep Tri Hita Karana itu bahkan sudah diyakini sebagai sebuah filosofi hidup dan kearifan lokal yang berbasis Hindu dan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bali jauh sebelum itu. Tri Hita Karana adalah warisan dari para leluhurnya.

Warga berjalan melewati lumpur pasca terjadi banjir di Pasar Kumbasari, Denpasar, Bali, Kamis (11/9/2025). (Nyoman Hendra Wibowo/Antara)

Sayangnya, sebagian pihak justru mengabaikannya. Bisa jadi tahu ada Tri Hita Karana itu tapi tidak mau tahu. Salah satu yang jelas mengabaikan dan tidak mau tahu itu adalah si pemberi izin pendirian bangunan beton yang mengakibatkan ketidakseimbangan manusia dengan alam.

Dan, saat keseimbangan itu diabaikan, saat alam diremehkan menjadi sekadar alat untuk mencari cuan, air pun tak segan menenggelamkan.

Dan, semua itu disuguhkan pada 10-11 September. Air hujan yang begitu deras gagal meresap ke dalam tanah. Air itu mengalir terus tak tertampung. Air itu semakin deras dan membawa apa saja, laptop berisi skripsi, motor, mobil, bahkan rumah, dan anggota keluarga.

Pakar lingkungan Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa menyebut bahwa banjir itu menjadi alarm serius mengenai kerentanan ekologi dan tata ruang Bali.

"Banjir Bali 2025 bukanlah kejadian alamiah semata, melainkan akumulasi krisis tata kelola lingkungan dan ruang yang mendesak untuk ditangani secara strategis," kata Mahawan.




(fem/ddn)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork