Beri Devisa Triliunan, Pengusaha Tak Dianggap di Revisi UU Kepariwisataan

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Round Up

Beri Devisa Triliunan, Pengusaha Tak Dianggap di Revisi UU Kepariwisataan

Rosmha Widiyani - detikTravel
Senin, 13 Okt 2025 06:13 WIB
Suasana objek wisata air terjun Kanto Lampo yang ramai dikunjungi wisatawan asing, Rabu (17/9/2025). (Ni Komang Ayu Leona Wirawan)
Wisata Air Terjun Kanto Lampo (dok. Ni Komang Ayu Leona Wirawan/detikcom)
Jakarta -

Pelaku industri pariwisata menilai pemerintah belum sepenuhnya menghargai peran sektor ini dalam perekonomian nasional. Meski setiap tahun menyumbang devisa hingga ratusan triliun rupiah, mereka merasa tidak dilibatkan secara substansial dalam revisi Undang-Undang Kepariwisataan yang baru saja disahkan DPR dan pemerintah.

Revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan akhirnya disahkan dalam rapat paripurna DPR RI di Gedung Nusantara II, Jakarta, Kamis (2/10/2025). Regulasi baru itu diklaim akan menjadi fondasi penting untuk pengembangan pariwisata nasional yang lebih berkelanjutan, inklusif, dan adaptif.

Namun, keputusan itu justru menimbulkan kekecewaan besar bagi kalangan industri wisata, terutama Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani menyatakan kecewa karena GIPI tidak lagi disebutkan dalam Undang-Undang Kepariwisataan yang baru. Padahal, dalam undang-undang sebelumnya, keberadaan GIPI diatur secara eksplisit melalui Pasal 50, yang menegaskan peran lembaga ini sebagai wadah resmi komunikasi antara pelaku industri dan pemerintah.

"Rumah untuk asosiasi pariwisata ini tiba-tiba hilang dalam undang-undang. Tidak ada pembahasan, dan ini mengejutkan pelaku industri," ujar Hariyadi dalam konferensi pers di Nusantara International Convention Exhibition (ICE) Pantai Indah Kapuk 2, Banten, Minggu (12/10/2025), yang juga dihelat secara hybrid.

ADVERTISEMENT

Ia menilai keputusan menghapus GIPI dari undang-undang seperti menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR ingin mengecilkan peran pelaku industri.

"Kami melihat, oh DPR memang mau mengecilkan peran industri ya? Pesan yang kami tangkap seperti itu. Ini yang membuat kami sangat kecewa," ujarnya lagi.

Dalam konferensi pers itu turut hadir Sekretaris Jenderal GIPI Pauline Suharno dan Ketua Umum Himpunan Pramuwisata Indonesia Imam Widodo, yang sama-sama menyuarakan keresahan pelaku usaha terhadap arah kebijakan pariwisata nasional.

Dampak dari Hilangnya GIPI di UU Kepariwisataan

GIPI sebelumnya diatur dalam Pasal 50 Ayat 1 UU lama, yang menyebut bahwa untuk mendukung pengembangan dunia usaha pariwisata yang kompetitif, dibentuk wadah bernama Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).

Ayat 2 menjelaskan bahwa keanggotaannya terdiri dari pengusaha pariwisata, asosiasi usaha, asosiasi profesi, serta organisasi terkait lainnya. Ayat 3 menyebutkan bahwa GIPI berfungsi sebagai mitra kerja pemerintah pusat dan daerah, serta wadah komunikasi dan konsultasi antaranggota dalam pembangunan pariwisata nasional.

Dengan hilangnya GIPI dalam UU baru, Hariyadi menilai, eksistensi industri pariwisata kehilangan payung hukum yang kuat.

"Undang-undang memberi legitimasi bagi kami untuk menghimpun anggota, menyusun program, dan menjalin kerja sama dalam maupun luar negeri. Tanpa itu, posisi industri menjadi lemah," kata Hariyadi.

Padahal, sektor pariwisata pada 2024 menyumbang devisa sebesar Rp 280 triliun dengan 13,9 juta kunjungan wisatawan mancanegara. Angka tersebut dicapai melalui kolaborasi erat antara pemerintah, pengusaha, dan ribuan pelaku UMKM di seluruh Indonesia.

Pendanaan dan Lembaga Promosi Ikut Hilang dari Regulasi

Selain soal GIPI, para pelaku industri juga menyoroti tidak adanya pembahasan mendalam soal pendanaan. Hariyadi menyebut isu pendanaan seharusnya menjadi prioritas karena selama ini pajak dari sektor pariwisata (hiburan, hotel, restoran, dan retribusi) jarang sekali dikembalikan untuk pengembangan industri itu sendiri.

Tak hanya itu, rencana pembentukan Indonesia Tourism Board (ITB), lembaga promosi wisata nasional, juga batal dimasukkan dalam undang-undang. Lembaga itu semula dirancang sebagai penyempurnaan dari Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) yang dinilai tidak berjalan efektif.

"BPPI sudah lama tidak aktif, tapi justru itu yang dipertahankan. Padahal Indonesia Tourism Board bisa lebih fleksibel dan profesional dalam mengelola promosi pariwisata," ujar Hariyadi.

Kekecewaan juga muncul dari ketidakjelasan pengelolaan Badan Layanan Umum (BLU) Pariwisata, yang seharusnya mengatur pungutan wisatawan mancanegara untuk dana pengembangan destinasi. Dalam UU baru, pemerintah mengambil alih pengelolaan tanpa kejelasan mekanismenya.

GIPI khawatir hal ini akan membuat dunia usaha sulit mengakses dana promosi dan pengembangan, sehingga daya saing pariwisata Indonesia makin tertinggal dibanding negara tetangga.

Pemerintah dan DPR: UU Baru Jadi Fondasi Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan

Sementara itu, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana menegaskan bahwa UU Kepariwisataan yang baru disahkan menjadi tonggak penting bagi pembenahan sektor wisata nasional.

"Pariwisata bukan hanya memperkenalkan keindahan alam dan budaya Indonesia ke dunia, tetapi juga membuka lapangan kerja, meningkatkan devisa, dan menjadi motor penggerak ekonomi nasional," ujar Widiyanti, dikutip dari Antara, Jumat (3/10).

Ia menyebut UU Kepariwisataan itu akan memberikan kepastian hukum, memperkuat tata kelola, dan mendorong pembangunan pariwisata yang berorientasi pada kualitas dan keberlanjutan.

Beberapa tantangan yang ingin dijawab melalui UU ini antara lain adalah degradasi lingkungan, rendahnya kualitas SDM, lemahnya aksesibilitas, dan kurangnya pemerataan manfaat ekonomi di daerah wisata.

"Pengembangan pariwisata harus menjaga keseimbangan antara pemberdayaan masyarakat, pelestarian lingkungan, peningkatan ekonomi, dan sinergi antar pemangku kepentingan," katanya.

UU ini juga memperkenalkan paradigma baru ekosistem kepariwisataan, dengan fokus pada peningkatan SDM, pembangunan desa wisata, digitalisasi promosi, dan kolaborasi lintas kementerian.

Ketua Komisi VII DPR Saleh Partaonan Daulay menambahkan UU Kepariwisataan itu merupakan rekonstruksi landasan filosofis pariwisata nasional.

"Jika sebelumnya pariwisata lebih dipandang sebagai pemanfaatan sumber daya, kini ditempatkan sebagai instrumen pembangunan peradaban dan penguatan identitas nasional," ujarnya.

Minta Dialog dan Sinergi Nyata

Meski pemerintah menegaskan bahwa UU baru ini berorientasi pada kualitas dan keberlanjutan, para pelaku industri berharap pemerintah tidak menyingkirkan peran dunia usaha dalam praktiknya.

"Kami berharap revisi ini tidak menjauhkan peran pelaku industri, karena keberhasilan pariwisata tidak bisa dicapai tanpa kolaborasi antara pemerintah dan swasta," GIPI dalam pernyataannya melalui siaran pers.

Ke depan, GIPI mendesak agar dibuka ruang dialog antara pemerintah, DPR, dan pelaku industri pariwisata untuk memastikan regulasi ini benar-benar berpihak pada pengembangan sektor wisata, bukan hanya sebagai simbol reformasi hukum semata.

Halaman 2 dari 3


Simak Video " Menteri Pariwisata Pastikan Bali Tetap Terbuka Bagi Wisatawan"
[Gambas:Video 20detik]
(row/ddn)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads