GIPI Kecewa dengan UU Kepariwisataan Baru, Ini 2 Poin yang Disorot

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

GIPI Kecewa dengan UU Kepariwisataan Baru, Ini 2 Poin yang Disorot

Muhammad Lugas Pribady - detikTravel
Minggu, 12 Okt 2025 16:38 WIB
Konferensi pers GIPI bertajuk Menilik Kondisi Pariwisata di tengah dinamika Undang-Undang Pariwisata Terbaru, Jakarta, Minggu (12/10/2025).
Ketua Umum DPP GIPI, Hariyadi Sukamdani (Tangkapan layar)
Jakarta -

Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menyatakan kekecewaan mendalam terhadap Undang-Undang NO 10/2009 tentang Kepariwisataan yang baru disahkan pada 2 Oktober 2025. Organisasi yang menaungi berbagai asosiasi pelaku usaha pariwisata itu menilai ada sejumlah poin krusial yang justru dihapus atau diabaikan dalam revisi tersebut.

Ketua Umum DPP GIPI, Hariyadi Sukamdani, menuturkan bahwa amandemen UU Kepariwisataan semula diharapkan menjadi momentum penting untuk memperkuat fondasi sektor pariwisata nasional. Namun, hasil akhirnya justru menimbulkan keprihatinan karena dianggap tidak berpihak pada industri.

"Kami semula berharap amandemen ini akan memperbaiki kondisi pariwisata Indonesia. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, banyak hal penting yang hilang," ujar Hariyadi dalam konferensi pers daring, Minggu (12/10/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu poin yang paling disorot Hariyadi adalah penghapusan Bab XI dalam undang-undang baru, yang sebelumnya mengatur tentang GIPI. Penghapusan itu dianggap menciptakan "sejarah kelam" bagi dunia pariwisata nasional karena menghilangkan wadah resmi kolaborasi antara pelaku industri dan pemerintah

Sejak dibentuk pada 2012 berdasarkan amanah UU No.10 Tahun 2009, GIPI berperan sebagai induk organisasi berbagai asosiasi pariwisata. Melalui wadah itu, pelaku industri berkolaborasi dengan pemerintah dalam program pembangunan dan promosi pariwisata nasional.

ADVERTISEMENT

Namun, dalam UU yang baru, keberadaan GIPI sama sekali dihapus tanpa pembahasan yang jelas. Padahal, dalam sejumlah draft sebelumnya sempat diusulkan perubahan nama menjadi Gabungan Asosiasi Pariwisata, bukan penghapusan total.

"Rumah besar bagi asosiasi pariwisata ini tiba-tiba hilang begitu saja dalam undang-undang. Tidak ada pembahasan sebelumnya, dan ini mengejutkan pelaku industri," tulis GIPI dalam rilis resminya.

Indonesia Tourism Board Tak Masuk, Promosi Terpadu Masih Abu-abu

Kekecewaan lain datang dari tidak dimasukkannya rencana pembentukan Indonesia Tourism Board, lembaga promosi nasional yang diusulkan GIPI bersama DPR. Komisi VII DPR RI sebelumnya menilai lembaga ini penting untuk menyatukan strategi promosi pariwisata Indonesia, mengingat negara-negara ASEAN lain telah memiliki tourism board yang kuat.

Namun, ide tersebut tak muncul dalam naskah akhir undang-undang. Sebaliknya, pemerintah memilih mempertahankan Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) yang dinilai tidak efektif karena bergantung pada inisiatif pemerintah pusat dan daerah, serta terkendala anggaran sejak 2015.

"Tourism Board bisa menjadi penyempurnaan dari fungsi GIPI, tapi ide itu justru dihapus. Padahal lembaga ini sangat dibutuhkan untuk mengarahkan promosi pariwisata Indonesia secara berkelanjutan," kata Hariyadi.

Pendanaan Tak Jelas, Usulan BLU Pariwisata Diambil Pemerintah

Masalah lain yang ditekankan GIPI adalah pendanaan pariwisata. Industri menilai pemerintah belum memiliki mekanisme berkelanjutan untuk mendukung promosi dan pengembangan pasar.

GIPI sebelumnya mengusulkan pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) Pariwisata, yang akan menghimpun pungutan dari wisatawan mancanegara dan mengelolanya langsung untuk pengembangan destinasi serta pemasaran. Konsep ini dinilai sebagai solusi untuk mengatasi ketergantungan pada anggaran pemerintah yang terbatas.

Namun, dalam UU Kepariwisataan yang baru, pemerintah justru mengambil alih konsep pungutan wisatawan mancanegara tanpa mengakomodasi mekanisme pengelolaan oleh industri. Hal ini dikhawatirkan membuat dana pariwisata kembali sulit diakses oleh pelaku industri.


"Faktanya, setiap pungutan dari sektor pariwisata selalu sulit disisihkan untuk pengembangan industri. Padahal kontribusi ekonomi sektor ini sangat besar, terutama bagi UMKM di daerah," pernyataan GIPI dalam siaran pers.

Selain dua isu utama, GIPI juga menyoroti tidak adanya perubahan berarti dalam Bab IV tentang Usaha Pariwisata. Padahal, pelaku industri telah lama mengusulkan penambahan jenis usaha manajemen pariwisata agar tidak disamakan dengan konsultan, karena peran keduanya berbeda.

Usulan tersebut bahkan telah disepakati dalam pembahasan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2025, namun belum tercermin dalam UU Kepariwisataan terbaru.

GIPI menilai hasil akhir amandemen UU Kepariwisataan menunjukkan bahwa sektor ini belum menjadi prioritas nyata pemerintah dalam pembangunan ekonomi nasional. Padahal di banyak negara, pariwisata justru menjadi sumber devisa utama yang didukung penuh oleh kebijakan dan pendanaan negara.

"Pemerintah tidak bisa hanya menikmati pendapatan dari devisa dan pajak pariwisata tanpa membantu industri mengembangkan pasar. Negara lain di ASEAN justru memperkuat peran tourism board mereka dengan dukungan besar dari pemerintah," tulis GIPI dalam pernyataannya.

GIPI berharap pemerintah dan DPR membuka ruang dialog baru agar kebijakan pariwisata Indonesia benar-benar berpihak pada pelaku industri, sekaligus menjadi fondasi kuat bagi pengembangan pariwisata berkelanjutan di masa depan.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Ketua GIPI: Kenaikan Pajak Hiburan Belum Pernah Disosialisasikan Pemerintah"
[Gambas:Video 20detik]
(upd/fem)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads