Pemerintah menyebut Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai kota masa depan yang hijau, cerdas, dan berkelanjutan. Namun, riset internasional dan laporan terbaru The Guardian mengingatkan bahwa ambisi itu bisa menjadi petaka jika hutan Borneo dikorbankan dan kota baru justru sepi penghuni.
Penilaian paling baru diberikan The Guardian. Dalam artikel yang dipublikasikan pada 29 Oktober, The Guardian memprediksi IKN menjadi kota hantu. Minimnya penduduk yang bisa menyebabkan perputaran ekonomi lemah dan penurunan sokongan anggaran untuk pembangunan menjadi penyebabnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jauh sebelum The Guardian merilis artikel itu, studi tentang IKN sudah dilakukan oleh kelompok peneliti gabungan dari Indonesia dan sejumlah negara lain. Penelitian itu dilakukan oleh Hoong Chen Teo dkk, termasuk satu peneliti Indonesia, Saut Sagala, dan dipublikasikan dengan judul Environmental Impacts of Planned Capitals and Lessons for Indonesia's New Capital di jurnal ilmiah Land yang diterbitkan oleh Multidisciplinary Digital Publishing Institute (MDPI) pada 2020.
Penelitian itu merujuk kepada pengalaman 12 negara yang sudah lebih dulu membangun ibu kota baru. Yakni, di Abuja, Belmopan, Brasilia, Canberra, Dodoma, Islamabad, Lilongwe, Naypyidaw, Nur-Sultan (Astana), Sejong, Washington DC, dan Yamoussoukro.
Dengan menggunakan analisis spasial berbasis citra satelit malam (DMSP-OLS dan VIIRS) dari 1992-2018, penelitian itu menemukan ada dua pola perkembangan ibu kota baru.
Pola pertama menunjukkan laju pertumbuhan yang sangat cepat di tahap awal, 5-120 tahun pertama dengan radius 10-30 km dari pusat kota. Kemudian, pola kedua menunjukkan pertumbuhan akan melambat dan beralih dari ekstensifikasi (meluas keluar) menjadi intensifikasi (peningkatan kepadatan dan aktivitas ekonomi).
Jika pola yang sama terjadi di IKN, baik pola pertama atau pun kedua, maka kawasan sekitar IKN, yang mencakup Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, tak jauh dari Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, dan sekitar 200 km dari kawasan konservasi "Heart of Borneo", berpotensi mengalami perubahan besar pada bentang alamnya.
Pembangunan di kawasan greenfield seperti IKN berarti sebagian besar lahan masih berhutan. Wajah Kalimantan yang identik hijau, pelan-pelan berubah menjadi hutan beton.
"Dampaknya, risiko deforestasi, degradasi habitat, dan pelepasan karbon sangat tinggi," begitulah pernyataan Teo dkk.
Peneliti memperkirakan potensi emisi dari deforestasi langsung mencapai 50 juta ton COβ ekuivalen, sementara dampak tak langsung akibat urbanisasi dan pembangunan infrastruktur hingga radius 200 kilometer bisa mencapai 2,3 miliar ton COβ ekuivalen, setara 126 persen total emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2014.
Jika tidak dikendalikan, pembangunan itu dapat menggerus peran Kalimantan sebagai paru-paru dunia.
Kekhawatiran dalam penelitian itu kembali bergaung setelah IKN disebut-sebut menjadi kota hantu. The Guardian mengunggah curahan hati suku adat Baik dan Walhi. Sungai Sepaku mulai kering, mereka kesulitan air.
Selain itu, The Guardian menyoroti aspek sosial dan ekonomi. Kota yang super megah itu hanya dihuni oleh sedikit orang, ASN dan pekerja bangunan. Merujuk artikel berjudul Indonesia's New Capital, Nusantara, in Danger of Becoming A 'Ghost City' itu saat ini baru ada 2.000 ASN dan 8.000 pekerja konstruksi tinggal di IKN, jauh dari target 1,2 juta orang pada 2030.
Belakangan, usaha UMKM di sekitar IKN lesu. Penginapan jarang penuh.
Teo dkk menyimpulkan bahwa pembangunan ibu kota baru, termasuk IKN, tidak hanya mengubah peta fisik, tapi juga peta sosial dan politik Indonesia. Pembangunan kota baru selalu membawa makna simbolik dan kepentingan kekuasaan, sebagai cara menunjukkan kemajuan dan kebanggaan nasional, tetapi di balik itu, dampaknya terhadap lingkungan bisa sangat besar.
Namun bukan berarti IKN tanpa harapan.
"IKN juga bisa menunjukkan titik balik, asalkan dikelola dengan cara yang benar. Pembangunan bisa IKN menjadi kesempatan untuk memperbaiki tata kelola lingkungan dan menunjukkan bahwa Indonesia mampu membangun kota tanpa menghancurkan alamnya dengan penerapan praktik terbaik dalam penilaian dampak lingkungan dan kebijakan keberlanjutan," begitulah saran dari Teo dkk.
(bnl/wsw)








































.webp)













 
                     
             
             
             
  
  
  
  
  
  
  
 
Komentar Terbanyak
Fadli Zon: Banten Sudah Maju dan Modern Sebelum Bangsa Eropa Datang
Kata Jokowi soal Whoosh Bikin Rugi: Itu Investasi
Whoosh Diterpa Dugaan Korupsi, KPK: Pengusutan Tidak Ganggu Operasional