Repan, remaja Baduy Dalam, dibegal hingga terluka di Jakarta Pusat, tapi rumah sakit menolaknya karena tak punya KTP dan BPJS. Peristiwa itu menjadi cerminan bagaimana masyarakat adat masih terhalang birokrasi untuk mengakses layanan kesehatan yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga.
Pembegalan itu terjadi pada Minggu (26/10/2025) sekitar pukul 04.00 WIB di Jalan Pramuka Raya, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Repan mengalami luka serius.
Namun saat ke rumah sakit untuk meminta pengobatan, dia justru ditolak karena tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan dokumen kepesertaan BPJS Kesehatan. Padahal dalam situasi gawat darurat, RS seharusnya tetap memberikan layanan medis tanpa menunggu kelengkapan administrasi, sesuai Permenkes No. 47/2018.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus itu membuka perbedaan antara sistem kesehatan di Indonesia dan realitas kehidupan masyarakat adat keyakinan masyarakat Baduy Dalam.
Repan dan masyarakat adat Baduy Dalam tidak menggunakan identitas administrasi negara (seperti KTP dan BPJS), karena bertentangan dengan prinsip adat mereka. Sementara itu, sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia mensyaratkan data kependudukan formal untuk terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Pemerintah daerah Banten mulai beradaptasi dengan tradisi itu, namun sistem kesehatan di daerah terdekat, Jabodetabek belum menerimanya.
Dalam bidang kesehatan, masyarakat Baduy sudah terlibat dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak 2023 yang dijalankan BPJS Kesehatan. Mengutip laporan detikNews, program itu sudah menjangkau masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak sebagai bentuk pemerataan layanan kesehatan.
Panggiwa Desa Kanekes Enip mengatakan Pemerintah Banten sudah memberikan layanan kesehatan cukup baik bagi masyarakat Baduy, kendati mereka tidak memiliki KTP dan dokumen adiministrasi lain. Masyarakat Baduy Dalam tetap bisa mengakses layanan kesehatan di rumah sakit umum daerah atau pun puskesmas.
"Ditangani dulu, baru diurus identitasnya ke desa," kata Enip dikutip dari BBC Indonesia.
Prosedurnya, rumah sakit umum daerah Banten, memberikan waktu tiga hari bagi pimpinan adat Baduy untuk mengurus berkas administrasi warga Baduy yang sakit. Berkas itu meliputi surat keterangan tidak mampu atau surat keterangan rawat inap yang kemudian akan diserahkan ke dinas sosial.
"Ada atau tidak ada KTP akan tetap dilayani. Jangan ditanyakan identitas dulu orang Baduy Dalam, karena sampai kapan pun Baduy Dalam itu tidak boleh punya identitas atau KTP," ujar dia.
Sementara itu, Koordinator BPJS Watch, Timbul Siregar, mengatakan kebijakan pemerintah sudah tepat untuk masyarakat dapat memperoleh hak yang sama dalam layanan kesehatan. Dia mengatakan penolakan RS kepada Repan adalah bentuk kelalaian pihak rumah sakit. Menurutnya rumah sakit harus mengikuti azas keselamatan pasien yang diatur dalam UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Timbul mengatakan UU itu mengatur bahwa rumah sakit wajib melaksanakan sistem keselamatan pasien, seperti termaktub pada Pasal 13 huruf k. Adapula ketentuan Pasal 29 ayat 1 huruf f yang menyatakan bahwa rumah sakit wajib menyelenggarakan pelayanan yang aman dan antidiskriminasi yang mengutamakan keselamatan pasien.
"Jadi, enggak bisa ditanya KTP-nya mana, JKN atau bukan. Enggak bisa," ujar Timbul.
Tentang Suku Baduy
Dikutip dari BBC Indonesia, masyarakat Baduy terbagi ke dalam dua kelompok, yakni Baduy Dalam dan Baduy Luar. Mereka terbagi ke dalam 69 kampung yang berhulu pada satu desa, yakni Kanekes.
Antropolog Universitas Indonesia yang meneliti soal Baduy, Iman Fachruliansyah, mengatakan bahwa masyarakat Baduy Dalam merupakan kelompok masyarakat adat yang masih berpegang teguh pada tradisi turun temurun. Sementara itu, Baduy Luar lebih berkompromi dengan pengaruh kehidupan luar.
"Baduy Dalam itu seperti penjaga gawang, sementara Baduy Luar semacam buffer dengan budaya luar," kata Iman.
Masyarakat Baduy Dalam memiliki sejumlah pantangan yang harus diikuti. Selain tak diperkenankan memiliki KTP, mereka juga memiliki pantangan lain seperti tidak diperkenankan menggunakan kendaraan bermesin dan barang-barang elektronik. Bahkan, mereka meminta agar kampung Baduy Dalam menjadi blank spot, tidak tersentuh internet.
Nah, makanya saat berdagang ke luar wilayah kampung, warga Baduy Dalam, seperti Repan, akan berjalan kaki kendati harus menempuh jarak lebih dari 100 kilometer menuju Jakarta. Mereka juga tidak membawa alat komunikasi digital.
Sebaliknya, terang IIman, Baduy Luar cenderung lebih terbuka dengan pengaruh kehidupan luar, seperti menggunakan ponsel pintar dan mau menggunakan kendaraan bermesin.
"Gadget itu boleh, tapi asal [Baduy] di luar. Biasanya itu dimiliki orang mereka yang punya network dengan orang luar dan menggunakan itu untuk berjualan," kata Iman.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Baduy Dalam juga masih megaplikasikan pola bercocok tanam dan menanam padi sendiri yang hasilnya disimpan d lumbung -kendati tak jarang juga membeli beras dari kampung-kampung sekitar. Sementara peternakan tidak boleh mengembangbiakkan hewan berkaki empat.
"Ayam masih boleh [diternak], tapi biasanya dipotong saat perayaan tertentu, seperti habis panen raya," kata Iman.
Simak Video "Video: Ombudsman Dukung Pemerintah soal Pemutihan Tunggakan BPJS Kesehatan"
[Gambas:Video 20detik]
(fem/fem)












































Komentar Terbanyak
Pembegalan Warga Suku Baduy di Jakpus Berbuntut Panjang
Kisah Sosialita AS Liburan di Bali Berakhir Tragis di Tangan Putrinya
Warga Baduy Dalam Ditolak RS karena KTP, Potret Buruk Layanan Kesehatan Masyarakat Adat