Kota Lama Semarang Diprediksi Berubah Jadi Lautan di 2045

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Kota Lama Semarang Diprediksi Berubah Jadi Lautan di 2045

Arina Zulfa Ul Haq - detikTravel
Minggu, 16 Nov 2025 17:07 WIB
Banjir di kawasan Museum Kota Lama, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Selasa (28/10/2025).
Banjir di kawasan Kota Lama Semarang (Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng)
Semarang -

Kawasan Kota Lama Semarang diprediksi bakal berubah menjadi lautan pada tahun 2045 mendatang.

Prediksi itu diungkapkan oleh Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah (Jateng), Fahmi Bastian. Fahmi mengingatkan bahwa kawasan pesisir utara atau Pantura Jateng sudah berada dalam kondisi kritis.

Ia menyebut kawasan Kota Lama Semarang bisa tenggelam dan berubah menjadi lautan pada 2045. Fahmi mengatakan, Pantura termasuk Kota Semarang, Pekalongan, Demak, berada dalam kondisi yang sangat kritis, dilihat dari banjir yang merendam hingga seminggu lebih di Jalan Pantura Kaligawe, hingga penurunan muka tanah (land subsidence).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketiga daerah itu disebut paling berpotensi tenggelam akibat krisis iklim. Jika tidak ada langkah mitigasi serius, ia bahkan menyebut kawasan Kota Lama Semarang bisa tenggelam dan berubah menjadi laut pada 2045.

"Land subsidence kalau di Semarang di angka 8-12 cm. Tapi tiap tahun nggak sama, 5 cm. Ya, 2045 seperti Kota Lama itu ya juga sudah bisa jadi lautan itu," kata Fahmi di Kecamatan Semarang Selatan, Sabtu (15/11/2025).

ADVERTISEMENT

"Kalau di Pekalongan land subsidence itu lebih tinggi dibandingkan Semarang sebenarnya, 12-15 tapi rata-rata 8 cm," lanjut Fahmi.

Sementara itu, land subsidence di Sayung, Kabupaten Demak, diakibatkan oleh tanah yang disapu ombak dan hilangnya mangrove, sehingga abrasi makin parah.

Fahmi menyebut, banjir besar yang merendam Pantura selama dua pekan lalu adalah sinyal keras bahwa kawasan tersebut memasuki fase kritis. Menurutnya, tenggelamnya pesisir bukan hanya soal rob atau cuaca ekstrem, tetapi kombinasi kerusakan ekologis dari hulu hingga hilir.

"Kalau kita bicara soal banjir, sebenarnya sungai-sungai yang masuk di Semarang atau Demak itu perlu dinormalisasi lagi. Karena dia tidak mampu lagi menampung debit air kiriman," terangnya.

"Di konteks pesisirnya juga itu diperparah ekosistem mangrove yang rusak. Jadi bencana banjir kiriman datang, rob juga ada. Jadi ya air tidak bakalan keluar ke lautnya karena dorongan dari lautnya pun itu airnya juga ada," sambungnya.

Fahmi juga menilai, banjir Semarang-Demak diperparah oleh proyek Tanggul Laut Semarang-Demak yang hingga kini belum tuntas, termasuk kolam retensi yang seharusnya menampung air, tetapi tak kunjung selesai.

Selain itu, lanjutnya, sungai-sungai yang mengalir ke Semarang dan Demak sudah tidak mampu menampung debit air karena tidak pernah dinormalisasi secara serius. Wilayah tangkapan air (catchment area) seperti Mijen dan Ngaliyan juga rusak akibat pembangunan perumahan tanpa mempertimbangkan daya dukung wilayah.

"Sungai-sungai di Semarang atau Demak itu perlu dinormalisasi karena tidak mampu lagi menampung debit air kiriman. Di konteks pesisirnya juga itu diperparah ekosistem mangrove yang rusak," paparnya.

"Jadi bencana banjir kiriman datang, rob juga ada. Jadi ya air tidak bakalan keluar ke lautnya karena dorongan dari lautnya pun itu airnya juga ada," lanjutnya.

Fahmi menilai, pemerintah justru mendorong pembangunan yang memperburuk pesisir. Ekosistem mangrove yang seharusnya menjadi benteng alami banyak digantikan industri dan kawasan terbangun. Padahal mangrove berfungsi menahan abrasi dan meredam kenaikan gelombang.

Menurutnya, melihat pola banjir, rob, dan amblesan tanah saat ini, Pantura tidak akan mampu menahan beban jika pembangunan terus digenjot tanpa memperhitungkan daya dukung dan daya tampung ekologi.

"Tidak mungkin Jateng akan selalu digenjot investasi kawasan-kawasan industri, yang sebenarnya memperparah kebencanaan. Pemerintah harus mampu bikin kebijakan yang melihat konteks daya dukung, daya tampung kita," terangnya.

Solusi Banjir adalah Ekosistem Mangrove dan Kolam Retensi

Ia menekankan bahwa ekosistem mangrove adalah salah satu hutan tropis penting yang mampu meredam dampak krisis iklim, tetapi justru terpinggirkan dalam pembangunan pesisir Jateng.

Fahmi lantas mendorong pemerintah segera melakukan beberapa upaya yang disebut mampu menjadi langkah menangani kondisi Pantura yang sudah berada dalam fase kritisnya.

"Satu kolam retensi itu harus ada, kedua harus ada pengembangan ekosistem mangrove, ketiga menormalisasi sungai-sungai yang masuk di Semarang ataupun di Demak yang menjadi titik-titik banjir, keempat melihat bagaimana landscape dari wilayah," urainya.

--------

Artikel ini telah naik di detikJateng.




(wsw/wsw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads