×
Ad

Banjir Besar Dikaitkan Deforestasi, Warganet Ramai-ramai Ajak Patungan Beli Hutan

Femi Diah - detikTravel
Kamis, 04 Des 2025 11:05 WIB
Foto udara dampak kerusakan pascabanjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh, Selasa (2/12/2025). (Suhendra/Antara)
Jakarta -

Hujan deras hingga menyebabkan banjir berhari-hari dan warga terisolir di Sumatera dikaitkan dengan cuaca buruk dan deforestasi. Warganet beramai-ramai mengajak patungan membeli hutan.

Banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menguak hutan-hutan gundul dan kayu-kayu gelondongan hanyut. Warganet menilai banjir besar tidak lagi sekadar persoalan cuaca ekstrem, tetapi hasil akumulasi deforestasi yang dibiarkan bertahun-tahun.

Mereka menyindir bahwa jika pemerintah dan pelaku industri tak mampu menjaga hutan, mungkin masyarakat sendiri yang harus turun tangan-meski ajakan itu lebih bersifat simbolik ketimbang solusi nyata.

Di lapangan, banjir yang menutup akses jalan, merusak rumah, dan membuat warga terisolir menunjukkan betapa rentannya daerah hulu tanpa penyangga vegetasi. Hutan-hutan gundul di lereng Bukit Barisan membuat air hujan tak lagi terserap, langsung mengalir deras membawa material kayu hingga ke pemukiman.

Kondisi itu menegaskan bahwa mitigasi bencana tidak bisa hanya mengandalkan peringatan cuaca, tetapi perlu diimbangi dengan pengelolaan hutan yang tegas dan berkelanjutan. Jika tidak, banjir serupa kemungkinan akan terus berulang setiap musim penghujan.

"Sudah ada open donasi buat patungan beli hutan belum? Patungan sedikit-sedikit bisalah saya," kata salah satu warganet melalui Thread.

"Bikin nyesek dan stres baca berita bencana Sumatra. Mungkin 10-15th lagi generasi berikutnya ga bs lihat hutan dan berbagai satwa asli Indonesia karena udah punah 😭. Bisa gak sih kita sbg WNI patungan beli hutan utk konservasi? Apa ada praktek seperti ini?," yang lain menimpali.

"Ngeliat donasi untuk Sumatra di Kitabisa tembus 8M, rasanya pergerakan rakyat ini gak ada yang gak mungkin kalau kita jalan bareng. Optimis bgt kita bisa patungan bebasin lahan untuk konservasi hutan bareng-bareng," kata yang lain.

"Aku punya cita-cita baru buat Hutan. ayok patungan beli tanah dan kita tanami pohom," ujar yang lain.

Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara menyoroti maraknya penebangan liar sebagai faktor terjadinya banjir. Sumut telah kehilangan banyak area tangkapan air.

Sejumlah video menampilkan ribuan gelondongan kayu terbawa saat banjir bandang di sejumlah daerah di Sumut viral di media sosial.
Dalam sejumlah video yang tersebar di media sosial, banjir bandang membawa muatan gelondongan kayu di Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, hingga Sibolga. Netizen menduga itu merupakan praktek ilegal logging yang ikut memperparah banjir dan longsor

Senada, Lembaga Bantuan Hukum dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Regional Barat menyatakan bencana longsor dan banjir tak lepas dari dampak krisis iklim yang berkaitan dengan aktivitas deforestasi dan masifnya pemberian izin-izin konsesi pada perusahaan pertambangan dan perkebunan di wilayah Sumatra.

"Hal demikian menunjukkan gagalnya Pemerintah dalam tata kelola kawasan hutan yang semrawut dengan memberikan atau setidaknya mempermudah izin-izin usaha perkebunan, pertambangan dan juga maraknya alih fungsi lahan demi proyek PLTA yang tersebar di berbagai titik di wilayah Sumatra," pernyataan LBH.

LBH mencatat dalam rentang waktu 2020-2024, di Sumatra Barat saja sudah terdapat ratusan ribu hektare hutan yang dirusak.

Sejumlah pakar lingkungan juga menyampaikan pernyataan serupa. Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU., menyatakan bencana banjir bandang di Sumatera itu merupakan bagian dari pola berulang bencana hidrometeorologi yang kian meningkat dalam dua dekade terakhir.

Kombinasi faktor alam dan ulah manusia berperan di baliknya.

"Curah hujan memang sangat tinggi kala itu, BMKG mencatat beberapa wilayah di Sumut diguyur lebih dari 300 mm hujan per hari pada puncak kejadian," kata Hatma di Kampus UGM, Senin (1/12), dikutip dari situs UGM.

"Curah hujan ekstrem ini dipicu oleh dinamika atmosfer luar biasa, termasuk adanya Siklon Tropis Senyar yang terbentuk di Selat Malaka pada akhir November 2025. Namun, cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal. Dampak merusak banjir bandang tersebut sesungguhnya diperparah oleh rapuhnya benteng alam di kawasan hulu," dia menambahkan.

Pakar lingkungan Universitas Indonesia Dr. Ir. Mahawan Karuniasa, MM mengatakan selain oleh cuaca buruk oleh bibit siklon 95B, yang kemudian berevolusi menjadi Siklon Tropis Senyar ditambah deforestasi di Sumatera. Sejak 2012, luas hutan di banyak kabupaten terus berkurang akibat tekanan ekonomi dan pertumbuhan penduduk.

Banyak wilayah yang sebelumnya hijau kini berubah menjadi lahan pertanian atau perkebunan, termasuk kelapa sawit, kopi, kakao, dan karet. Perubahan tutupan lahan ini membuat ekosistem lebih rentan terhadap curah hujan ekstrem. Sungai-sungai yang sebelumnya mampu menampung aliran normal kini meluap, memicu banjir

"Tekanan ekonomi dan pertumbuhan penduduk membuat hutan dibuka, tutupan lahan berubah dari hijau menjadi coklat. Saat hujan ekstrem datang, ekosistem yang rentan itu tak mampu menahan air, potensi banjir pun meningkat, rumah-rumah tergenang, dan bencana menjadi nyata," ujar Mahawan.



Simak Video "Tambah Tahu: Arti Deforestasi yang Disebut Jadi Penyebab Banjir Bandang di Sumatera"

(fem/ddn)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork