Wisatawan kini rela antre berjam-jam demi mencicipi kuliner yang tengah viral. Pakar menilai fenomena ini dipicu kombinasi FOMO dan dorongan untuk membuktikan pengalaman yang "wajib dicoba" di era media sosial.
Mengikuti tren yang sedang viral menjadi lumrah saat ini. Banyak wisatawan antre panjang di satu destinasi wisata kuliner. Tak hanya buat antre makanan, mereka juga rela buat antre minuman yang popularitasnya sedang naik daun.
Setelah itu, mereka mengunggahnya di media sosial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengapa demikian?
Melansir informasi dari BBC, Saturday Night Live melakukan studi terhadap fenomena itu. Para pakar sepakat bahwa tren tersebut bukan soal makanan atau tempat destinasi, melainkan usaha untuk membentuk branding diri di media sosial.
Sejumlah tempat makan yang ramai dikunjungi wisatawan atau pembeli menandakan popularitas yang tinggi. Tak jarang, wisatawan tertarik untuk ikut mencicipi dan mengunggahnya di media sosial.
Rasa Takut Ketinggalan (FOMO)
Pakar sepakat menyebut mereka (orang yang tergugah dengan hal viral) dengan FOMO atau Fear of Missing Out. FOMO adalah sebuah rasa takut ketinggalan terhadap sesuatu yang dilakukan orang lain.
Menurut para pakar dalam penelitian Saturday Night Live, FOMO menjelaskan jawaban dari "Kenapa Orang Rela Mengantre Makanan yang Baru Mereka Dengar."
"Untuk mendapat pengalaman yang sama, ketika orang melihat orang lain mengantre untuk sesuatu, hal itu membuatnya (sesuatu yang diantre) lebih menarik dan memicu FOMO," ujar Rachel S. Herz, asisten profesor psikiatri dan perilaku manusia di Fakultas Kedokteran Alpert, Universitas Brown.
Bukti Validitas Media Sosial
Selain itu, Cathrine Jansson-Boyd, profesor psikologi konsumen di Universitas Anglia Ruskin, menjelaskan fenomena ini sebagai "bukti validasi sosial."
Kebanyakan orang yang ikut membeli makan viral bertujuan untuk mengunggahnya di media sosial. Dimana orang-orang yang terlibat dalam fenomena ini memiliki tujuan untuk 'memberi makan dunia maya' atau sebagai bukti bahwa mereka ikut dalam tren yang sedang populer.
Sara Dolnicar, profesor di UQ Business School, Universitas Quessland, menyebut media sosial sebagai panggung untuk warganet memamerkan kegiatan liburan mereka.
Inspired by the Influencer
Tak jarang, fenomena serupa juga didorong oleh pengaruh dari selebritas atau influencer yang disukai. Stefan Gossling, profesor di Fakultas Bisnis dan Ekonomi, Universitas Linnaues, mengatakan bahwa peran influencer sangat besar dalam mendorong fenomena ini.
Mereka cenderung selalu mengunggah kegiatan yang mereka lakukan di media sosial seperti tempat wisata, restoran yang mereka datangi, hingga produk kecantikan yang mereka gunakan, yang secara tidak langsung mempengaruhi para pengikut untuk melakukan hal yang sama.
Tidak sedikit wisatawan yang pergi ke suatu tempat atau mencicipi suatu makanan karena terinspirasi dari influencer favoritnya.
"Kecenderungan untuk meniru itu pada dasarnya adalah akar dari pola perjalanan repetitif, dan yang dilakukan influencer membuat repetitif dalam skala besar, hal ini menyebabkan banyak orang pergi ke tempat yang sama dan membeli makanan yang sama," ujar Stefan.
Rekomendasi Media Sosial
Hal lain yang mendorong fenomena ini adalah rekomendasi tempat dari media sosial. TikTok, Instagram, dan beberapa media sosial lain kerap menjadi petunjuk arah bagi wisatawan dan orang-orang ketika ingin mengunjungi suatu tempat.
Media sosial cenderung mengarahkan mereka ke tempat-tempat populer yang menyebabkan banyaknya orang berkumpul di tempat yang sama. Namun, viralitas sebenarnya sulit dikendalikan dan menyebabkan lonjakan pesat yang kadang menyulitkan bagi sebagian orang.
(fem/fem)












































Komentar Terbanyak
Bupati Aceh Selatan Umrah Saat Darurat Bencana-Tanpa Izin Gubernur & Mendagri
Turis Asing di Kertajati Turun, Dedi Mulyadi: Penerbangannya Kan Nggak Ada
Temuan Kemenhut Soal Kerusakan Hutan Sumatera, Bukan Cuma Faktor Cuaca