Kisah Pulau Cantik di Papua Barat yang Diangkat Jadi Film Hollywood
Minggu, 28 Jul 2019 12:31 WIB
Alfian
Jakarta - Awal tahun ini beberapa media ramai memberitakan rencana Hollywood menggarap film Mansinam: Man is Man. Inilah kisah Mansinam, pulau cantik di Papua Barat.Film Mansinam yang berlatar sejarah religi masyarakat Papua. Aktor peraih Piala Oscar Denzel Washington pun digadang-gadang akan ikut meramaikan proyek layar lebar ini. Publikasi tersebut memancing keingintahuan saya tentang Mansinam, sebuah pulau kecil di timur kota Manokwari, Papua Barat.Bagi masyarakat Papua, Mansinam memiliki nilai sejarah penting karena menjadi titik awal masuknya agama Kristen ke tanah Papua. Adalah dua orang pendeta muda Jerman-- Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottloba Geissler (Ottow-Geissler) yang pertama kali memperkenalkan agama Kristen kepada masyarakat Papua.Mereka berlabuh di Mansinam 5 Februari 1855. Sampai saat ini, setiap tanggal tersebut, Mansinam selalu dipadati umat Kristiani yang datang beribadah sekaligus memperingati hari bersejarah tersebut. Tanggal 5 Februari menjadi hari libur di Papua yang dikenal dengan sebutan peringatan masuknya Injil di Tanah Papua.Cara menuju ke Mansinam dari Manokwari mudah saja. Di tepi pantai di Distrik Manokwari Timur terdapat satu dermaga tempat beberapa perahu motor penyeberangan ditambatkan. Awalnya saya berniat menyewa perahu, tetapi melihat jarak Mansinam yang cukup dekat saya memilih menaiki perahu penyeberangan bersama-sama warga Mansinam yang hendak kembali setelah membeli beberapa kebutuhan pokok di Manokwari.Untuk membayar taksi laut ini saya hanya perlu merogoh sepuluh ribu rupiah. Menurut pengemudi, perahu penyeberangan ini selalu tersedia setiap saat. Selama di atas perahu, saya dapat menikmati segarnya udara sekaligus bentang alam yang memesona sejauh mata memandang.Meski cuaca sedikit mendung, laut sedang bersahabat sehingga perjalanan cukup nyaman. Sepanjang perjalanan perahu yang saya tumpangi kerap berpapasan dengan beberapa perahu dengan arah yang sama atau sebaliknya. Perjalanannya singkat saja. Hanya dalam waktu sekitar lima belas menit, saya pun menginjakkan kaki di pantai Pulau Mansinam.Pantai Pulau Mansinam berwarna coklat dengan serpihan bebatuan. Nyiur tinggi menjulang bersama sekelompok anjing yang berlarian di pinggir pantai seakan menyambut kedatangan saya di pulau ini. Dibandingkan pantai-pantai lain di Papua, harus diakui pantai di pulau Mansinam tidak terlalu istimewa. Tapi, menu utama pulau ini memang bukan panorama alam, tetapi nilai sejarahnya.Buat Anda yang mau cari keringat sambil menghirup udara segar, Mansinam dapat dikelilingi dengan berjalan kaki saja. Tetapi, karena pulau sepi dan saya juga ingin ada teman berbicara, saya akhirnya mengiyakan tawaran ojek motor dari pemuda setempat. Harganya hanya sepuluh ribu rupiah saja. Tentunya, tukang ojeknya akan lebih senang jika Anda memberi lebih mengingat pulau ini hanya ramai sekali dalam setahun.Terdapat lima situs utama di pulau Mansinam, yaitu tugu pendaratan, gereja lama, museum, gereja baru, dan Patung Kristus Raja. Situs pertama yang akan ditemui adalah tugu pendaratan yang merupakan monumen peringatan tempat pertama kali Ottow-Geissler berlabuh di Mansinam.Monumen ini memperlihatkan patung dua pria yang bersimpuh di depan salib. Di belakang salib terdapat diorama yang memperlihatkan sosok Ottow-Geissler saat pertama kali berinteraksi dengan penduduk lokal.Ottow-Geissler merupakan dua pendeta muda Jerman yang berangkat ke Belanda dan disiapkan untuk menuju Papua--saat itu masih diberi nama Nieuw-Guinea. Mereka bertolak dari Rotterdam dengan kapal layar Abel Tasman pada 26 April 1852 dan tiba di Pulau Jawa pada 7 Oktober 1852.Keterbatasan transportasi saat ini membuat mereka tidak bisa langsung menuju Papua dan harus menetap di Jakarta sampai 21 April 1854. Setelah ini pun, mereka tidak bisa langsung ke Papua karena memang belum ada kapal yang langsung ke pulau paling timur nusantara tersebut. Ottow-Geissler harus singgah dulu ke Ternate. Saat itu dari Ternate hanya ada perahu kecil yang berangkat ke Papua setahun sekali.Akhirnya mereka baru bisa bertolak ke Papua pada 12 Januari 1855. Perahu yang mereka tumpangi melabuhkan jangkarnya di Pulau Mansinam pada 5 Februari 1855. Di tepi pantai itu Ottow-Geissler bersimpuh dan berdoa 'Dengan nama Tuhan kami menginjak tanah ini' (Di Tanah Orang Papua-Van Hasselt, 1926). Momen pendaratan inilah yang kemudian diabadikan dalam tugu pendaratan yang baru diresmikan tahun 2014 ini.Sedikit di atas tugu pendaratan kita akan menemukan dua situs lain, yaitu gereja lama dan museum. Bangunan yang disebut gereja lama tersebut merupakan gereja kecil dengan bentuk tipikal gereja sederhana yang sering kita temui di berbagai daerah di Indonesia.Gereja ini sebenarnya bukan yang paling tua di Mansinam karena di sisi gereja tersebut terdapat sisa-sisa bangunan Gereja Bettel, yang sesuai dengan keterangan pada prasasti yang ada dibangun oleh J.L Van Hasselt dan Tuan Bingk. Menurut tukang ojek yang mengantar saya berkeliling, gereja lama tersebut masih aktif digunakan untuk kegiatan ibadah. Di luar prasasti dan info singkat tersebut, saya tidak menemukan catatan khusus lain tentang gereja tua ini di Mansinam.Di belakang gereja tua tersebut terdapat satu sumur tua. Nah, sumur tua yang dimiliki Pendeta J.L Van Hasselt dan mulai digunakan pada 21 Juli 1872 ini baru punya cerita tersendiri. Menurut seorang pejabat Provinsi Papua Barat, sumur tua ini sering dikunjungi pejabat-pejabat termasuk pejabat level nasional.Konon, dengan minum air dari sumur tua ini, para petinggi negeri tersebut berharap akan mendapatkan promosi jabatan. Meski sempat penasaran, saya tidak berani mencoba minum air dari sumur tersebut. Saya bergegas menuju museum yang berlokasi di sebelah gereja tua tersebut.Museum tersebut diberi nama Museum Perkabaran Injil Pulau Mansinam. Sayangnya saat saya datang museum tersebut sedang tutup. Namun saya menyempatkan diri naik ke undakan terjal yang mengantar kita ke puncak museum. Dari sana kita dapat memandang ke arah pantai Pulau Mansinam dan tugu pendaratan. Beberapa remaja yang berkunjung menggunakan undakan terjal tersebut sebagai sudut untuk mengambil foto yang semenarik mungkin.Gereja Kristen Injil merupakan situs berikutnya yang kita temui saat mendaki lebih tinggi di Pulau Mansinam. Oleh warga bangunan ini disebut gereja baru. Bentuknya memang modern dengan ornamen kaca patri bermotif geometris menjadi hiasan dominan. Bangunan ini juga dipakai umat kristiani saat mereka melakukan ritual ibadah di Mansinam.Sedikit menanjak dari bangunan gereja baru ini kita akan menemukan puncak tertinggi dari Pulau Mansinam dengan situs utama yaitu Patung Kristus Raja. Sebuah patung menjulang tinggi dengan tangan terbuka menghadap Kota Manokwari berdiri megah di situs ini. Ini merupakan tempat berfoto paling favorit di Mansinam. Di internet Anda akan menemukan beragam pose pengunjung dengan mengambil latar Patung Kristus Raja yang megah tersebut. Situs ini merupakan situs terakhir yang saya susuri di Mansinam.Dari perjalanan menyusuri lima situs utama di Mansinam terasa sekali bahwa pulau ini jarang dikunjungi dan bisa dibilang sedikit tidak terurus. Ini terlihat jelas dari semak-semak yang menjulang tinggi di kiri kanan jalan yang saya susuri. Soal semak-semak ini sebenarnya saya masih tidak keberatan, karena bunga-bunga liar yang bermekaran dari semak-semak ini membuat pemandangan terlihat indah natural.Namun sayangnya, di beberapa titik mata kita diganggu oleh jejak-jejak sampah plastik yang ditinggalkan para pengunjung. Satu lagi, mengingat Mansinam merupakan sistus bersejarah, sebenarnya saya mengharapkan lebih banyak prasasti yang dipajang yang memuat kisah Ottow-Geissler. Penempatan prasasti ini membuat kisah mereka tetap dapat dibaca pengunjung meskipun museum sedang tutup.Bagaimanapun kondisi Mansinam saat ini, kita berharap kisah Ottow-Geissler tetap diingat tidak hanya oleh masyarakat Papua tetapi juga oleh seluruh rakyat Indonesia. Industri film Hollywood menggemari cerita-cerita superhero sehingga kisah-kisah seperti Ottow-Geissler selalu menarik minat mereka.Di usia yang muda, dua pendeta ini meninggalkan negerinya untuk berdakwah di belahan bumi lain yang sangat asing bahkan bagi penduduk nusantara saat itu sekalipun. Saat tiba di sana pun kehadiran Ottow-Geissler tidak langsung diterima dengan mudah. Suku setempat masih memandang curiga pada dua manusia kulit putih ini.Butuh waktu bertahun-tahun sampai Ottow-Geissler dan ajarannya benar-benar diterima di Mansinam. Selama periode tersebut, mereka berdua berjuang untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat setempatΓΒ’Γ’β¬Òβ¬membantu mereka saat kesusahan, belajar bahasa suku setempat, menerjemahkan lagu-lagu ke dalam bahasa ibu penduduk, dll.Perjuangan Ottow-Geissler ini rasanya patut diteladani oleh pemerintah atau siapapun yang melakukan pekerjaan kemanusiaan di Papua atau di sudut lain negeri ini. Supaya kita dan gagasan yang kita bawa bisa benar-benar diterima masyarakat setempat, kita harus benar-benar mengenal dan mencintai mereka terlebih dahulu.
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!