Selangkah Lagi ke Puncak Merapi

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Selangkah Lagi ke Puncak Merapi

Pradikta Kusuma - detikTravel
Kamis, 12 Jan 2017 13:30 WIB
loading...
Pradikta Kusuma
Pasar Bubrah Merapi berselimut kabut
Beginilah keindahan yang disuguhkan Merapi
Sebuah pagi yang sempurna
Sang Merapi pun menyapa dengan ramah
Larangan bukan untuk dilanggar
Selangkah Lagi ke Puncak Merapi
Selangkah Lagi ke Puncak Merapi
Selangkah Lagi ke Puncak Merapi
Selangkah Lagi ke Puncak Merapi
Selangkah Lagi ke Puncak Merapi
Jakarta - Mendaki sampai ke Puncak Merapi memang menjadi impian banyak orang. Namun batas aman pendakian hanya sampai Pasar Bubrah.Langkah saya terhenti di sebuah dataran penuh dengan batu berbagai ukuran yang berserakan. Inilah Pasar Bubrah yang dalam Bahasa Jawa berarti pasar yang berantakan. Penamaan yang unik namun bisa mempresentasikan bagaimana keadaan yang sebenarnya di sini, berantakan."Bayangkan jika batu-batu ini berhamburan menerjang dan jatuh di antara kita ya," ujar saya sambil bercanda kepada yang lain."Hussshh, jangan omong gitu ah," kata Vero dengan muka serius.Dan sekali lagi saya terbayang ketika gunung paling aktif di Pulau Jawa ini sedang murka, bagaimana huru-hara yang terjadi di sini, jelas tak ada yang selamat dari amukan Merapi. Namun yang pasti ada doa di dalam hati agar kami semua diberi keselamatan di sini di Pasar Bubrah, karena kami hanya ingin lebih dekat memahami, menikmati kuasa Sang Ilahi. Ditambah kami yang ingin melepas rindu bisa berdekatan dengan ketinggian Gunung.Puncak merapi tak menampakkan wujudnya karena memang kabut pekat masih menyelimuti. Berjalan perlahan mencari sudut terbaik untuk mendirikan tenda sebelum hujan mulai menerjang. Tanah datar di antara dua buah batu besar menjadi pilihan kami, tak ada kelompok lain, hanya ada kami saat itu, menjadikan kami sangat leluasa memilih tempat.Sebelum senja menjelang tiba-tiba kabut perlahan menghilang berganti sinar matahari jingga. Perlahan juga Puncak Merapi menampakkan wujudnya. Gagah nan penuh misteri ketika saya memandangnya dari Pasar Bubrah.Suasana hatinya yang tak bisa ditebak, kadang Merapi bersahabat seperti saat ini namun tiba-tiba pun bisa murka dengan dahsyatnya. Namun itu adalah sebuah pertanda bagi semua orang yang tinggal di lereng-lerengnya agar mereka selalu menghormati dan bisa hidup berdampingan dengan Sang Merapi.Udara dingin menyapa kami semua pagi itu, tak ada kabut yang menghalangi senyuman dari Puncak Merapi. Di seberang sana senyuman manis pun ditampakkan oleh Gunung Merbabu. Terdiam di depan tenda saya memandang jauh ke atas sana. Nampak kilatan cahaya senter dari para pendaki yang terseok-seok ingin menggapai puncak Merapi.Melihat semua itu, ada keinginan untuk bergabung menjadi para pendaki pemburu puncak yang rela jalan terseok seok, bercumbu dengan pasir, dan tujuan akhirnya adalah puncak. Bukankah itu tujuan mendaki gunung? Untuk mencapai puncak bukan?"Yuk mas kita naik ke puncak, paling cuma sebentar itu," ajak Bembeng sedikit merayu."Iya ayo pengen tahu saja gimana. Nanti kalau nggak kuat dan bahaya kita langsung turun," ujar Mas Eko menambahi.Ego dan hasrat untuk menggapai puncak pun timbul namun tiba tiba ingatan akan seorang pendaki yang terjatuh ke Kawah Merapi kapan hari mulai merasuk di kepala. Berjalan perlahan menjauh dari tenda saya melihat papan peringatan berderet berjarak sekitar 20 meteran.Stop, berhenti di sini batas aman pendakian menengok ke belakang pun nampak sebuah papan kayu bertuliskan 'Di sini lebih baik aman, Satu orang terasa banyak, Jangan tambahkan lagi, Jiwa jiwa yang mati sia-sia'.Melihat semua itu apakah engkau masih menuruti ego dan hasratmu? Aturan di buat bukan untuk kita langgar. Biarlah mereka yang merayap di depan sana tetap menggapai puncak, menasbihkan dirinya menjadi yang terhebat dan memperlihatkan pada semua jika mereka telah sukses menjejakkan kaki di Puncak Merapi. Namun aku harus tetap diam disini merelakan dan mengubur impian tentang puncak.Puncak adalah sebuah pencapaian terbesar seorang pendaki, menjadi sebuah kebanggaan. Namun sesungguhnya puncak tertinggi itu diselimuti oleh selubung ego tak kasat mata.Karena mendaki hakikatnya bukan hanya tentang puncak. Perjalanan dan kebersamaan adalah pencapaian sesungguhnya. Apalagi kami semua ke sini hanya untuk melepas rindu akan ketinggian, jadi tak sepantasnya kita mengesampingkan keselamatan diri."Ayok kita mendaki bukit yang ada di sana saja," ajakku pada kawan lainnya."Sepertinya sunrise di sana lebih indah, dan pasti pemandangannya tak akan kalah dengan puncak di atas sana," imbuh saya.Gunung Merapi dengan Pasar Bubrahnya mengajarkan bagaiamana untuk bisa menahan ego, hasrat diri dan yang pasti mengajarkan kita semua untuk bagaimana caranya lebih bisa bersyukur. Puncak yang tertahan bukan untuk kita sesali namun lebih bagaimana cara kita untuk mensyukurinya.Merapi menguji kami dengan tanjakan, suhu, cuaca yang berganti-ganti. Dan puncaknya yang tak bisa kami gapai. Namun merapi mempunyai cara tersendiri untuk membayar semua lelah kami.Semburat jingga matahari perlahan menampakkan sinarnya di sebelah timur. Nun jauh di sana nampak Gunung Lawu menyapa, menengok ke kiri dengan gagahnya Gunung Merbabu seakan menantang kami untuk menaklukkanya. Dan dari sini pula senyuman Puncak Merapi tampak sangat anggun.Kami berdelapan sudah dalam posisi, berdiri berjejer di atas pasir lembut berlatar gagahnya Gunung Merbabu. Seorang pendaki yang saya mintakan tolong untuk memotret gaya kami pun telah siap. Kami semua tersenyum sumringah dan berfoto, canda tawa pun lepas bergema di hadapan alam yang luas.
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads