Menelusuri Pasar Tertua di Yogyakarta
Jumat, 17 Feb 2012 08:35 WIB

Ina Florencys

Jakarta - Tulisan ini berawal saat seorang kawan mengajak jalan-jalan menyusuri Pasar Kotagede. Hendak mencari tanaman hias katanya. Kebetulan hari itu bertepatan dengan pasaran legi, saat pasar begitu ramai.Pukul sembilan pagi ruas Jalan Mondorakan persis di depan pasar sudah tampak ramai. Banyak pedagang yang berjualan hingga ke sebagian badan jalan. Di barat laut pasar misalnya, para pedagang burung sibuk bernegosiasi harga dengan calon pembeli. Sesekali mereka bersiul, memancing burung agar berkicau. Selain soal harga, bentuk, dan penampilan, kicauan burung juga faktor utama untuk menarik pembeli. Di sini ada beragam jenis burung yang dijual seperti kutilang, merpati, kenari, trotokan, beo, jalak, hingga anis merah.Di antara kerumunan itu dengan mudah menemukan pedagang pakan burung. Meski jumlahnya tidak sebanyak pedagang burung namun ragam pakan yang dijual cukup lengkap. Mulai dari ulat bumbung, ulat hongkong, telur semut atau kroto, jangkrik, pisang, daun selada, hingga berbagai macam pelet kemasan.Kami lalu bergeser ke barat pasar menuju ke deretan tanaman hias. Kawanku sepertinya terarik untuk menambah lagi koleksi adenium-nya. Bergeser dari pedagang satu ke pedagang lainnya, melihat adenium berbagai macam ukuran. Mulai dari yang tingginya 15 sentimeter hingga yang berbonggol batang besar dengan ketinggian sekitar 40 sentimeter.Diawali dengan negosiasi harga kemudian berlanjut hingga obrolan soal tanaman hias. Kami akhirnya saling berbagi informasi dan pengalaman. Dari obrolan tersebut, kami mengetahui dia juga menerima jasa pembuatan taman. Rumahnya berada sekitar 1,5 kilometer selatan pasar. Di sana dia memiliki beberapa varietas palem, bambu, sirih dan menawarkannya kepada kami. Setelah selesai berbincang, tiga pot adenium ukuran kecil sudah di tangan. Masing-masing harganya 10 ribu rupiah. Tak hanya dari Kotagede ternyata, para pedagang tanaman hias ini juga ada yang dari Bandungan, Klaten, hingga Tawangmangu.Meski tujuan mencari tanaman hias telah terpenuhi, saya justru semakin penasaran dengan situasi Pasar Kotagede dari sisi lainnya. Berjalan menuju ke selatan pasar ada beragam ikan hias yang ditempatkan dalam ember-ember serta akuarium. Tak jauh dari situ ada juga berbagai alat pertukangan dan pertanian seperti bendho, sabit, cangkul, gancu, linggis, sekop, hingga pisau dapur. Kata kawanku, barang-barang itu diambil dari para pandai besi yang bermukim di wilayah Plered dan Imogiri.Di sisi timur pasar, berbeda lagi suasananya. Di sini banyak pedagang berjualan sandang seperti kaos, kemeja, celana kain, jeans, sandal dan sepatu untuk anak-anak hingga dewasa. Masih sambil memperhatikan situasi, tiba-tiba terdengar suara berat. Suara khas orang dari timur Indonesia namun fasih mengucapkan kata-kata dalam bahasa Jawa. Namanya Heri, pria asal Papua yang bersemangat sekali menjajakan obat kuat asli Papua. Obat berupa minyak itu dia letakkan dalam botol-botol kaca berwarna gelap, lengkap dengan segel kuning di tutupnya. Dia bahkan tak segan melakukan atraksi untuk menunjukkan khasiat obat kuatnya.Cara berpakaian pria berumur 50-an tahun ini juga unik dan mencuri perhatian pengunjung yang lewat. Dia mengenakan segala macam pernak-pernik yang mencirikan Papua. Kain ikat berwarna merah pudar serta manik-manik di kepala. Bertelanjang dada dengan sebuah kalung manik-manik kerang di leher. Tak ketinggalan, ia kenakan sebuah noken, tas tradisional Papua yang terbuat dari serat kulit kayu. Sementara bawahannya, ia kenakan celana pendek disertai asesoris rumbai-rumbai dari jerami.Lepas mengitari pasar, kami lalu masuk melihat kondisi di dalam pasar. Mata saya sedikit mengalami penyesuaian. Di luar begitu terang sementara di dalam suasananya lebih gelap dan relatif teduh. Mungkin ini juga dikarenakan ribuan genteng tanah di atapnya yang tampak mulai menghitam. Suasana di dalam juga ramai. Banyak los-los pedagang sayuran, bumbu dapur, bahan pokok, daging, ikan, hingga batik.Data Dinas Pasar Kota Yogyakarta Tahun 2007 menunjukkan ada 956 pedagang yang tercatat di Pasar Kotagede. Jumlah ini meningkat saat pasaran legi karena banyak kedatangan pedagang-pedagang dari luar Kotagede bahkan luar Jogja. Bangunan pasar seluas 4.158 mΒ² itu berdiri di atas lahan seluas 4.578 mΒ². Arsitektur bangunannya terlihat sederhana. Jika melihat denah, lokasi pasar membentuk trapesium siku.Menurut Jumhan, Kordinator Pasar Legi Kotagede, wajah pasar tidak banyak mengalami perubahan. Renovasi menyeluruh terakhir kali dilakukan pada tahun 1986. Tepat 22 Februari 1986, pasar ini diresmikan oleh Soegiarto, Walikota Yogyakarta pada masa itu. Saat gempa bumi Mei 2006 melanda Yogyakarta, beberapa kerusakan terjadi pada fisik bangunan pasar meski tidak begitu parah. Kerusakan parah justru terjadi pada Babon Anim, gardu listrik di barat laut pasar.Babon Anim ini merupakan salah satu landmark Kotagede. Ia dibangun di awal tahun 1900-an. Disebut babon karena dulunya merupakan gardu listrik induk. Sementara penambahan kata anim karena gardu pusat kontrol listrik ini merupakan warisan perusahaan listrik Pemerintah Belanda, NV ANIEM (Algemeen Nederlands Indische Electricitiet Maatschappij). Kondisinya saat ini tampak baik karena telah direnovasi.Pasar Kotagede sendiri merupakan salah satu cagar budaya. Ia disebut sebagai pasar tertua yang memiliki keterkaitan historis dan filosofis dengan Kerajaan Mataram. Pasar tradisional ini dibangun pada masa Panembahan Senopati. Seturut dengan konsep tatanan tapak tradisional Jawa (Catur Gatra Tunggal), pasar dibangun sebagai pusat perekonomian dan perdagangan. Keberadaannya lalu memunculkan geliat masyarakat sekitar untuk bekerja. Banyak bangunan-bangunan di sekitar pasar yang awalnya berfungsi sebagai hunian berubah menjadi tempat usaha. Hingga kini Pasar Kotagede masih menjadi magnet bagi para pedagang untuk melakukan transaksi jual beli.Puas melihat kondisi di dalam pasar, kami lalu keluar menuju utara pasar. Dari ujung barat hingga timur Mondorakan masih banyak orang lalu-lalang. Cuaca panas saat itu memunculkan rasa haus. Ada banyak gerobak menjual bermacam-macam jajanan. Tapi, es dawet khas Kotagede sepertinya lebih menarik. Kami menghampiri sebuah gerobak berwarna hijau. Letaknya tepat berada di antara dua pohon beringin. Suasana sejuk pas untuk menikmati perpaduan es serut, santan, gula merah, cendol, cincau, agar-agar serta tape ketan ini. Murah saja, satu mangkuk es dawet harganya 2.500 rupiah.Usai membayar, kami lalu menuju tempat parkiran di barat pasar. Agak sulit sebenarnya mengeluarkan sepeda motor karena padatnya situasi. Namun, pengalaman jalan-jalan ke Pasar Legi Kotagede pagi itu sangat menyenangkan. Bergerak ke arah barat, menjauhi pasar. Dalam perjalanan pulang, saya melihat dari kejauhan, tampak pucuk bangunan seperti keris. Ada ornamen Jawa yang bercampur dengan selera Eropa. Bangunan itu berada di tengah perkampungan. Sepertinya bangunan tersebut amat besar. Saya bertanya pada kawan, bangunan apa itu? Rumah orang Kalang, katanya.Masih menjadi misteri, dari mana asal mereka. Tapi orang Kalang dikenal mahir membuat ukiran kayu. Selera artistik mereka tinggi. Ini memang bisa kita lihat dari rumah-rumah peninggalan mereka itu. Ada pendapat yang mengatakan, orang Kalang juga memiliki kemampuan berdagang yang baik. Mungkin saja, keberadaan Kotagede sebagai pusat perdagangan waktu itu, tak lepas dari peran orang-orang Kalang.
Komentar Terbanyak
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum
Foto: Momen Liburan Sekolah Jokowi Bersama Cucu-cucunya di Pantai
Layangan di Bandara Soetta, Pesawat Terpaksa Muter-muter sampai Divert!