Percakapan Kejakartaan di Baduy Dalam

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Astri Apriyani|1491|BANTEN|14

Percakapan Kejakartaan di Baduy Dalam

Redaksi Detik Travel - detikTravel
Selasa, 23 Agu 2011 10:00 WIB
loading...
Redaksi Detik Travel
Apa jadi jika (bahkan) Baduy Dalam sudah mengecap kemodernan?
Segala macam kerajinan yang sering ditawarkan di Ibukota.
Percakapan Kejakartaan di Baduy Dalam
Percakapan Kejakartaan di Baduy Dalam
Jakarta - Sudah banyak kekagetan yang saya rasakan sejak detik menjejakkan kaki di Kampung Cibeo. Awalnya lebih karena betapa sederhana dan murninya kehidupan mereka. Tapi, seiring pengalaman, kekagetan saya meluas menjadi "betapa bisa jadi sangat kotanya mereka".

Β 

Seperti ketika sore itu, saya yang awalnya sedang berkeliling kampung bersama partner, pendamping, dan local guide, memutuskan singgah sebentar di rumah Pak Yardi yang sedang dikunjungi 6 orang. Tiga di antaranya saya kenal, sisanya saya baru lihat kali itu. Yang saya kenali adalah Kang Sanip (adik Pak Erwin, local guide saya), Pak Yardi (si empunya rumah yang sehari sebelumnya sudah bertemu di rumah Pak Surjaya, rumah tempat saya menginap di Cibeo), dan Pak Ahmadi (si pedagang dari luar Baduy yang sudah sering saya ajak bincang-bincang). Sisanya, dua orang lelaki muda dan seorang anak lelaki.

Β 

Ketika saya baru saja duduk, seorang lelaki muda yang belum saya kenal itu langsung bertanya, "Dari Jakarta, Neng?" Oh, iya, refleks saya menjawab. Lalu, dia bertanya lagi, "Tinggal di mana?" Wah, saya sempat ragu, apa kalau saya jawab pertanyaan ini, dia toh bisa tahu letak daerah rumah saya? Tapi, tetap saya jawab, "Pasar Minggu, Kang." Tak dinyana, dia langsung nyerocos panjang, "Wah, dekat sama Kalibata? Saya itu suka datang ke Sekretariat Wanadri di Kalibata. Suka numpang nginap di sana." Saya langsung ber-o panjang.

Β 

"Sering Kang ke Jakarta?" saya menyelidik.

"Ya, bisa dibilang begitu," kata si akang yang akhirnya saya tahu bernama Kang Jaya.

"Saya suka jualan ini (menunjuk gelang-gelang dan tas rotan, serta selendang tenunan khas Baduy) di YAI, di Binus, di kampus-kampus. Banyak laku."

"Jalan kaki?" tanya saya sembari mengkonfirmasi, karena ada aturan adat yang melarang warga Baduy (utamanya Dalam) untuk menggunakan alat-alat transportasi.

"Iya, tapi ya sudah biasa."

Β 

Kang Sanip ikut bicara, "Banyak orang sini sudah ke Jakarta, Neng. Jualan. Sama dengan Jaya, saya juga suka jualan di kampus-kampus, suka ke Pancoran, yang ada patung tinggi itu, Kalibata, kemarin saya juga ke Pasar Minggu, ketemu teman."

Β 

Jujur saya tidak menyangka. Saya memang sesekali pernah melihat orang-orang Baduy jalan dengan santai di pedestrian Ibukota, biasanya membawa botol madu untuk ditawarkan. Tapi, sungguh, saya sama sekali tidak mengira kalau ternyata Jakarta sudah begitu diakrabi oleh masyarakat Baduy, apalagi Baduy Dalam yang dalam pikiran saya tidak tersentuh segala hal yang berbau urban. Mungkin tidak hanya ke Ibukota. Mungkin mereka juga ke kota-kota besar lain di Indonesia. Hanya saja, Jakarta jadi fokus saya.

Β 

Dan, ya, nyatanya demikian. Mereka rutin beringsut ke Ibukota. Mereka berkala berkunjung ke Jakarta; sekadar bertemu teman, mencari uang (jualan madu atau kerajinan tangan), atau juga hanya jalan-jalan. Ajaibnya lagi, ada saja "teman" yang mereka miliki di Jakarta yang bisa mereka inapi. "Oh, seringnya teman-teman di Jakarta itu ketemu kalau mereka datang ke sini (Kampung Cibeo). Saya suka minta alamat, kalau saya ke Jakarta, saya mampir," kali ini Kang Yardi yang bicara.

Β 

Luar biasa kalau begini. Percakapan ini sungguh begitu lazim dan familiar di telinga saya. Padahal, saat ini saya berada di kampung yang masih mengusung ketat adat-istiadat setempat yang bisa dibilang menutup diri dari teknologi. Tapi, rasanya saya berada di sebuah desa pada umumnya yang tinggal menunggu waktu untuk dimodernkan. Ah, apa memang begitu kenyataannya? Apa Baduy Dalam juga hanya menunggu waktu untuk mengecap modernitas?

Hide Ads