Legenda Mangut Lele, Mbah Marto

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Legenda Mangut Lele, Mbah Marto

Thomas Wardhana - detikTravel
Rabu, 24 Agu 2011 13:03 WIB
Jakarta - Hari Rabu kemarin (17/08/2011), Aku jalan-jalan bersama teman-temanku, Leo AFI dan Dita, untuk menjalankan misi khususnya Leo AFI, yakni jelajag kuliner ke Mangut Lele dan Sego Nggeneng Mbah Marto.Β Peristiwa ini juga mengingatkan aku ketika temen-teman dari Bright Indonesia and Entrepreneur Campus dateng ke Jogja. Hal yang sama aku lakukan, aku mengajak mereka ke tempat sosok pejuang entrepreneur yang sudah berusia 80 tahun.Β 

Ini dia sekelumit entrepreneurship Mbah Marto.

Sekitar tahun 1960an, mbah Marto mulai membangun usahanya berjualan mangut lele dan sego nggenengnya yang tersohor. Usaha yang dirintisnya tidaklah mudah, terlebih beliau mempunyai 6 orang anak (banyak anak banyak rejeki, kata orang jaman dulu).Β Tak kenal lelah, mbah Marto putri selalu ditemani memasak oleh mbah Marto Kakung hingga tahun 2008, ketika mbah Marto kakung meninggalkan mbah putri untuk selama-lamanya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Track record mbah Marto dalam bidang entrepreneurship, bisa dilihat dari perjalanan panjang beliau menjajakan mangut lele dan sego nggeneng yang dipincuk (daun pisang dibuat piring). Dari daerah kampus ISI di Sewon Bantul hingga daerah Kraton yang nota bene berjarak lebih dari 15KM dilalui nya dengan mendorong sepeda berisi kuali mangut lele, gudeg, sambel krecek, dan jangan anyepan (sayur yang menyerupai opor namun tanpa bumbu opor).

Pelan-pelan sekali dan disertai doa, usaha mbah Marto mulai menunjukkan keberadaanya. Beberapa kali artis-artis dari ibu kota menyambangi dapur sederhana nya. Tak kurang pak Bondan Winarno bahkan melakukan shooting di dapurnya yang dihiasi dengan jelaga hitam hasil pemasakan dari kayu.

Kesederhanaan beliau berpakaian, bertutur kata, memasak, menyambut customer memberikan atmosfir yang berbeda dari kaum entrepreneur mapan yang biasanya sudah mempunyai HP muktahir, mobil sport, rumah mewah, dll.

Seperti yang Leo ungkapkan, "Hanya dengan kurang dari 60.000 rupiah, kita bertiga makan dengan brutalnya".Β Gambarannya: nasi nggeneng 3, minum teh 3, lele 1, ati ampela 1, paha 2, sayap 2, 2 sate keong, ditambah dengan membawa pulang 3 paha ayam anyepan dan tahu yang banyak, 3 mangut lele plus gudeg dan sambel nggeneng.

Dan ketika teman-teman dari BI + EC makan disana "hanya" menghabiskan dana sekitar 300.000 rupiah dengan jumlah peserta resmi 25an orang dan tak resmi 1 orang (maksudnya adalah aku, hehehe) dan dapet pisang setandan (gratis).

Tak kurang hotel2 berbintang di Jogja, PEMDA dan PEMKOT, dll berlomba untuk menghabiskan stock mangut lele dan sego nggeneng nya mbah Marto. Belum lagi "wisatawan" dadakan plat B, D, L, H menghiasi jalan kampung yang masih asri di daerah Sewon, Bantul.

Namun, dari dapur sederhana yang mengepulkan asap dari tungku kayu; kepercayaan mbah Marto dengan ucapan jumlah makanan yang dibeli customer (beliau tidak bisa baca dan menulis); teh nasgitel (panas, legi, dan kentel); kesederhanaan berpakaian; proses memasak yang masih sama dari tahun 60an; dan kegigihannya menempuh perjalanan 15KM dari Bantul menuju Jogja baik dalam hujan mau pun panas, memberikan 1 nilai yang amat sangat bagus dipelajari. ENTREPRENEURSHIP MEMBUTUHKAN KERJA KERAS, CUCURAN KERINGAT DAN AIR MATA, DOA DAN PASRAH.Β 

(travel/travel)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads