Sebuah Pesan Dari Sumba

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Muhammad Lukman Hakim|1885|NTT 1|24

Sebuah Pesan Dari Sumba

Redaksi Detik Travel - detikTravel
Rabu, 23 Feb 2011 17:32 WIB
loading...
Redaksi Detik Travel
Bapak Amaniga, kepala desa Tarung, Sumba
Sebuah Pesan Dari  Sumba
Jakarta -

Merasakan keramah tamahan penduduk lokal dalam perjalanan Aku Cinta Indonesia ini, terutama orang - orang dari Desa Tarung di Waikabubak tidak bisa saya lupakan begitu saja. Kenangan itu masih ada hingga saya beranjak pergi dari Pulau Sumba. Bercerita selama semalaman, obrolan ngalor ngidul bersama Pak Amaniga beserta keluarga sepertinya tidak terasa. Mulai dari membicarakan adat budaya, politik, pengobatan hingga kuda. Dia begitu pandai menceritakan tentang apa yang dia ingat. Walaupun sebenarnya saya agak mengalami kendala untuk memahami gaya bahasanya. Yah, itu memang problem orang - orang yang berasal dari Jawa bertemu dengan orang - orang dari Indonesia bagian Timur. Gaya bahasa yang dengan nada naik turun dan diselingi tentang penataan kalimat yang tidak sesuai EYD membuat saya agak sedikit lama untuk loading. Namun, dengan keluwesan, narasi, artikulasinya, dan kesabaran untuk mengulangi kata - kata, saya bisa mengerti apa yang beliau maksudkan.

Sosok kepala desa ini begitu kharismatik, ketika pertama kali datang yang dia pancarkan adalah hawa positif. Hawa positif yang membentuk itu adalah senyum beliau. "Apa yang bisa saya bantu?", ujar dia setelah kami menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami ke Pulau Sumba ini. Dan waktu ketika kami bertamu kala itu begitu bergulir dengan cepat, secepat kuda - kuda dalam perang Pasola di bulan Februari.

Dalam jangka waktu 8 jam saya bisa mendapatkan informasi tentang adat kebiasaan orang - orang yang masih memiliki kepercayaan bernama Marapu ini. Walaupun tidak sampai hingga akar, namun cukup bisa membuka tabir misteri tentang Sumba kepada saya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Anak Lukman, yang dibutuhkan oleh orang - orang jaman sekarang ini adalah mempererat persatuan", pesan beliau kepada saya. "Apa guna jaman modern kalau ternyata kami sekarang hanya bisa panen Pare Kalego (salah satu jenis padi lokal) menjadi 75% , menurun dari tahun - tahun sebelumnya?", tanya dia. Sepertinya dampak global warming juga dialami oleh orang - orang ini. Padahal mereka tidak turut andil dalam menaikkan suhu pemanasan global. Mereka selalu memberikan persembahan kepada bumi dalam upacara - upacara adat yang dilakukan. Apakah kita juga melakukan apa yang mereka lakukan? terlepas dari soal keyakinan, yang patut kita contoh adalah bentuk penghormatan manusia kepada bumi yang dipijaknya. Dan hal itu terkadang dilupakan oleh orang - orang yang merasa modern seperti kita ini.

Persatuan menyamakan langkah dalam membangun keselarasan dan keseimbangan bersama sepertinya itu yang coba diingatkannya kepada saya. Ketika dua hal itu berjalan dengan baik maka akan timbullah keselamatan bersama. Dan keselamatan akan mengakibatkan kebahagiaan. Dan sebab itu harus dijaga dengan baik.

Sebuah konsep universal tentang keseimbangan alam coba disampaikan kepada saya. Disaat orang - orang asing mengucurkan dana untuk menjaga hutan - hutan di Kalimantan agar bisa mereduksi karbon dunia. Di bagian lain Indonesia, pemahaman tentang itu telah mengakar kuat di kalangan komunitas tradisional Sumba. Dan pertemuan kali ini membuat saya bersemangat untuk lebih menghargai kearifan lokal sebagai penguat identitas ke-nusantara-an.

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads